
GlobalReview-Jakarta-Hari ini, 18 tahun lalu tepatnya 26 Desember 2004, Aceh bergoncang, tsunami melanda, meluluhlantahkan segala hal yang ada. Korban jiwa berjatuhan, materi berantakan rata dengan tanah, seperti kembali ke awal mula kehidupan.
Berdasarkan catatan ketinggian tsunami Aceh mencapai 30 meter. Bahkan, di Lhoknga, Aceh Besar, air laut naik menyapu daratan hingga setinggi 51 meter.
- Baca Juga: Sukses blackpink kolaborasi dengan oreo
Kala itu, duniapun bergoyang beramai-ramai bahu membahu mendirikan kembali bangunan kepercayaan manusia kepada sang pencipta. Kala itu doa dan air mata serta tangis dunia untuk Aceh mengalir dari penjuru dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 4 Januari 2005 memperkirakan, jumlah korban tsunami Aceh melebihi angka 200.000 jiwa, berkisar 230.000 jiwa.

Luluh mantan akibat Tsunami/Foto: Jeffry Rasyid
Tsunami Aceh diawali dengan gempa magnitudo 9,3 pada pukul 07.59 WIB pada Minggu (26/12/2004). Gempa yang berpusat di Samudra Hindia pada kedalaman sekitar 10 kilometer di dasar laut terjadi selama 10 menit.
Gempa dipicu adanya aktivitas subduksi lempeng segmen Megathrust Aceh-Andaman sebab aktivitas Megathrust di kawasan barat Sumatera berstatus aktif.
- Baca Juga : KAI layani 154 ribu pelanggan selama nataru
Belum usai masyarakat kaget dan kalut dengan gempa, dikejutkan pula dengan naiknya air laut. Mereka menyelamatkan diri semampunya. Namun tetap ribuan orang meregang nyawa belum lagi yang hilang entah kemana.

Penyintas saat berada di lokasi kuburan massal/Foto : Jeffry Rasyid
Melihat dan mendengar berita tersebut yang disiarkan melalui layar kaca, radio dan media cetak serta media online, Indonesia bergerak, Duniapun peduli. Bergandeng tangan beramai- ramai membantu saudara yang tertimpa musibah dan berdonasi.
Para relawan dari segala penjuru datang ke Tanah Rencong ini membawa kebutuhan makan minum dan sandang bagi penyintas yang selamat.
Relawan mengangkat ribuan mayat yang berserakan yang rata-tak tak dikenal karena tanpa identitas. Mayat ditemukan diantara puing bangunan dan menguburkannya secara massal seperti di Siron, Aceh Besar, dan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Berdasarkan pengakuan penyintas yang kehilangan anak-anak dan istrinya, Jeffrey Rasyid SH, MM, CLA, Med, CLI, CRGP, peristiwa tersebut begitu dasyat menggelayut dalam jiwanya hingga kini. Betapa tidak, kala peristiwa terjadi dirinya kehilangan orang-orang yang dicintainya.
“Saya kehilangan anak-anak dan istri tercinta, bahkan akibat dari peristiwa itu saya hampir saja alami gangguan jiwa. Saya kesana kemari tanpa arah mencari semua anggota keluarga saya, ” kata Jeffry dengan raut sedih dan air mata.
Pasca peristiwa tersebut, Pemerintah mulai melakukan proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang dilakukan dikurun waktu tahun 2005-2009 untuk memulihkan kondisi Serambi Mekkah. Diantaranya mendirikan rumah bantuan, membangun infrastruktur serta fasilitas umum. Bahkan di tahun 2009, untuk mengenang peristiwa dasyat tersebut, dibangun Museum Tsunami Aceh seluas 2.500 M2 yang berlokasi di Blang Padang, Banda Aceh yang didesain arsitek Ridwan Kamil (kini Gubernur Jawa Barat).
Pemerintah telah membangun beberapa gedung penyelamatan (escape building) di Banda Aceh yang dipasang sirine tsunami. Di gedung ini setiap tahun dilakukan simulasi gempa dan tsunami digelar. Hal ini dilakukan agar masyarakat tanggap bencana.
Kini semua berharap tak kan lagi ada peristiwa dasyat yang merenggut banyak jiwa. Masyarakat Aceh pun sudah mulai bisa berdiri tegak dan merajut hari baru. Jeffry Rasyid pun telah beriktiar pergi dari Aceh merengkuh hidup yang lebih baik bersama keluarga barunya. Kini membuka Kantor Law Firm dan berkiprah juga sebagai bagian dari pengurus Forum Lembaga Usaha Penanggulangan Bencana Indonesia (ForLUPBI) yang dibentuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). *
