GlobalReview-Jakarta – Tenaga Ahli Khusus Hilirisasi Sumber Daya Alam Menteri Perindustrian, Raden Sukhyar, mengungkapkan, salah satu persoalan di bidang pertambangan adalah adanya Abuse of Power (penyalahgunaan kekuasaan) saat pembuatan undang-undang dan rent seekers (pemburu rente) yang merugikan para penambang maupun negara dalam industri Sumber Daya Alam (SDA).
“Persoalan pertambangan selama ini muncul berkenaan dengan permasalahan kontitusi dan perundang-undangan,” kata Sukhyar pada diskusi publik bertajuk “Peran Penting Pertambangan dalam Transisi Energi dan Hilirisasi”, di Hotel Alia, Cikini, Jakarta, Selasa 15 November 2022.
Sukhyar mengatakan, industri SDA di Indonesia tidak membeli bahan baku karena bahan bakunya sudah ada. Penyalahgunaan kekuasaan dinilai paling sering terjadi pada saat pembuatan ketentuan, undang-undang, pelaksanaannya, dan sebagainya.
“Saya tidak menyebut abuse of power, tetapi secara umum di dunia ini pasti terjadi abuse of power di dalam pembentukan UU, kemudian adanya rent seekers,” kata Sukhyar.
Menurut Sukhyar, hal ini pastinya berkaitan dengan usaha para pengusaha tambang mulai dari melakukan pertambangan hingga pengiriman barang tambang, selalu ada pengeluaran biaya. “Dan ini pasti berkaitan dengan usaha Bapak-bapak di pertambangan mulai dari menambang sampai mengirim, pasti ada rent seekers di tengah-tengah dan banyak sekali yang harus kita bayar yang pernah kita alami,” ujarnya.
Berkaitan dengan itu, Sukhyar menuturkan mengenai evolusi kegiatan pertambangan di Indonesia. Menurut dia, ada perbedaan yang mendasar antara ketentuan perundang-undangan berkaitan dengan SDA dengan industri manufaktur. Adapun industri manufaktur itu sudah downstream, tetapi di dalam UU SDA, pasti banyak kewajiban di dalam ketentuan.
“Karena kalau kita lihat by kontitusi, kontitusi kita mengatasi bahwa SDA itu milik rakyat, kolektif, tidak ada individu yang bisa mengklaim bahwa itu adalah miliknya,” tuturnya.
Sukhyar juga menerangkan bahwa ada perbedaan pada industri SDA dengan industri manufaktur. Kalau industri manufaktur membeli bahan baku, semisal pengusaha membangun smelter dan pasti smelter membeli nikel ore, tetapi di industri SDA, tidak ada pembelian bahan baku.
Sedangkan untuk industri manufaktur, yang mengalami kerugian adalah pelaku usaha. Ketika membeli bahan baku namun bahan bakunya tidak laku, lalu membeli mesin, tapi mesinnya tidak laku. “Tetapi kalau industri SDA seperti nikel bukan hanya pelaku usaha yang rugi, tetapi juga negara yang rugi,” katanya.
Sukhyar menjelaskan bahwa ada dua komoditas di Indonesia yang tidak ada bandingannya di dunia. Dua komoditas itu adalah nikel dan timah. Namun alasan World Trade Organization (WTO) lebih menyorot nikel, menurutnya, adalah karena pasti ada alasan di baliknya.
Ketika pemerintah mewajibkan untuk melakukan pengelolaan nikel menjadi produk turunan, maka para pengusaha asing berdatangan ke Indonesia untuk mendapatkan nikel. “Sayangnya sampai hari ini, kebanyakan kita masih di hulunya, yang kita lakukan masih di hulunya. Jadi dari ore menjadi metal, belum sampai ke bawahnya. Harapan kita tentu kalau kita punya nikel bagus harapannya ke hilirnya sejauh mungkin. Ya ini yang kita harap-harapkan kedepan,” jelasnya.
Namun Sukhyar mengingatkan agar kita tidak bergembira dahulu atas kebangkitan hilirisasi industri nikel karena Indonesia masih menjadi pengikut negara-negara maju. “Jangan gembira dulu, kita ini sifatnya masih follower, kalau nikel ini booming, karena ada kepentingan-kepentingan negara maju kemudian mempengaruhi kita untuk mengembangkan nikel kita,” ujarnya.
Seperti diketahui bahwa nikel merupakan bahan baku pembuatan baterai listrik yang mampu menyimpan energi listrik lebih besar dibanding logam lain. Namun kalau pertumbuhan negara maju tidak bagus atau tidak ada pertumbuhan, maka Indonesia akan kesulitan mengirim produk tambang ke luar negeri.
“Jadi ini faktor-faktor yang tidak mungkin tidak mempengaruhi kelanjutan (sustainability) di pertambangan di Indonesia termasuk nikel di Indonesia,” ujarnya.
Dilihat dari teknologi, perusahaan Indonesia menurutnya hanya baru mampu mengolah nikel sampai ke ore, logam, FeNi, hingga MHP dan stainless steel. Jadi hampir semua teknologi yang digunakan itu masih menggunakan teknologi dari negara luar. (*)