Connect with us

Hukum

APHA Hadir dalam Rapat Dengar Pendapat DPD RI sebagai Narasumber Bahas Perda Terkait Masyarakat Adat

Pertemuan APHA Indonesia dengan DPD RI di Gedung DPD RI /Foto: IST

GlobalReview-Jakarta – Keberadaan PERDA masyarakat adat sangatlah perlu, namun bukan untuk menetapkan masyarakat adat, melainkan dalam rangka pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat adat. Penetapan masyarakat adat cukup dilakukan melalui prosedur pendaftaran. Demikian garis besar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) BULD DPD RI di Ruang Rapat Mataram lantai 2 Gedung B DPD RI Senayan, Jakarta, Rabu (5 Maret 2025).

Baca Juga : BRIN dan APHA Indonesia Komitmen Bangun Masyarakat Adat Lebih Baik

RDPU BULD DPD RI membahas hasil pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda) tentang masyarakat adat.

Baca Juga : Judicial Review Pembentukan Kementerian Masyarakat Adat Ditolak MK,  APHA Indonesia Tetap Berjuang Untuk Masyarakat Adat

Perlu diketahui bahwa BULD DPD RI akan mengusulkan perubahan kebijakan untuk menyederhanakan prosedur penetapan masyarakat adat karena dinilai terlalu rumit. Keterhubungan antara masyarakat adat, pemerintah daerah, dan kementerian sangat kompleks. Selain membedakan pengaturan di perda atau bukan perda atas teritori masyarakat adat yang berada di kawasan hutan atau bukan, pengajuan hak masyarakat adat harus ke kementerian sektoral dengan syarat yang berbeda.

Baca Juga : Ucapkan Selamat Kepada Prabowo-Gibran, Ketum APHA Indonesia Prof Laksanto Minta RUU MHA Disahkan

RDPU BULD DPD RI menghadirkan tiga narsumber, yaitu perwakilan dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Prof. Dominikus Rato (Fakultas Hukum Universitas Jember), Deputi Bidang Politik dan Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, dan Peneliti Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Universitas Gadjah Mada (UGM) Sartika Intaning Pradhani. Stefanus BAN Liow (Ketua BULD DPD RI, senator asal Sulawesi Utara) juga memimpin acara bersama dua Wakil Ketua BULD DPD RI, yaitu Abdul Hamid (senator asal Riau), dan Marthin Billa (senator asal Kalimantan Utara).

Prof. Dominikus Rato membahas peran perguruan tinggi. Peran perguruan tinggi di tengah masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, dimulai setelah didahului kiprah Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sajogyo Institute, Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan AMAN, karena para akademisi, baik pribadi maupun melalui beberapa organisasi, memberikan perhatian.

Dia menjelaskan, beberapa kali AMAN dan APHA memberikan dukungan seperti amicus curiae, membahas RUU Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, mengajukan permohonan uji materiil UU, mengritisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyusun naskah akademik RUU, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Ranperda.

Sejumlah anggota BULD DPD RI memberikan tanggapan. Ahmad Bastian Sy (senator asal Lampung) menyinggung hukum adat sebagai sumber hukum nasional. Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik (senator asal Bali) menceritakan masyarakat adat di Bali sejumlah 1543 desa adat.

“Menjaga tradisi adat harus diperjuangkan. Karena itu, perjuangan meloloskan RUU ini harus dilanjutkan. Menjadi legacy kita kepada rakyat Indonesia,” ujarnya.

Syarif Melvin (senator asal Kalimantan Barat) menyinggung konflik masyarakat adat dengan perusahaan yang tidak kunjung selesai karena pengabaikan negara terhadap hak masyarakat adat. “Di mana pun kasusnya sama, hak masyarakat harus dikembalikan agar tidak ada lagi konflik,” ujarnya.

Agustinus R Kambuaya (senator asal Papua Barat Daya) menegaskan urgensi pengesahan RUU yang mengatur masyarakat adat. Narasi ‘masyarakat adat yang kuat bukan berarti negara lemah’ harus dipertegas agar semua pihak menerima pengesahan RUU ini.

“Karena itu, UU ini harus didorong untuk disahkan. Mengapa UU tidak bisa disahkan cepat?” ucapnya.

Darmansyah Husein (senator asal Kepulauan Bangka Belitung) menyebut satuan masyarakat hukum adat di wilayahnya masih hidup, sementara Elviana (senator asal Jambi) menekankan agar pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak menjadi sumber konflik. Marthin Billa (senator asal Kalimantan Utara) menceritakan pengalamannya selaku kepala daerah dalam pengesahan tanah adat yang dilindungi dan pengesahan peraturan daerah tentang pengakuan hukum adat.

“Adat adalah hal fundamental. Perekat bangsa,” ucapnya.

BULD DPD RI menginventarisasi pandangan dan masukan pakar dalam rangka pemantauan dan evaluasi ranperda dan perda terkait masyarakat adat, yang dilakukan dalam kerangka harmonisasi regulasi pusat-daerah. BULD DPD RI ingin memastikan bahwa regulasi di daerah sejalan dengan pusat sekaligus mendorong pusat agar mengeluarkan regulasi yang memperhatikan aspirasi daerah.*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Hukum