Connect with us

Opini

Bertahankah Xi Jinping di Himpit Badai dan Bara: Antara Gejolak Dalam Negeri dan Tekanan AS

Bernard Haloho, Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institute (Ind-Bri)/Foto : IST

GlobalReview-Jakarta – Stabilitas sejati tidak lahir dari represi, tetapi dari kepercayaan publik dan fleksibilitas negara menghadapi zaman”

Xi Jinping, tokoh paling dominan di Tiongkok dalam tiga dekade terakhir, kini menghadapi masa kepemimpinan terberatnya. Dunia menyaksikan bagaimana negeri tirai bambu ini terguncang dari dalam oleh himpitan ekonomi, keresahan sosial, dan pertarungan elite, sementara dari luar, tekanan geopolitik Amerika Serikat kian menyesakkan.

Di tengah pusaran ini, Xi tak hanya berperang melawan krisis, tetapi juga mempertahankan cengkeramannya atas kekuasaan, menghadapi tantangan eksistensial bagi masa depan China dan dirinya sendiri.Awal Kemunculan Xi Menjadi Presiden Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan pada 2012 sebagai Sekjen Partai Komunis China (PKC) dan pada 2013 resmi menjadi Presiden Republik Rakyat China.

Putra dari veteran revolusioner Xi Zhongxun, Xi membawa warisan “darah merah” yang membuatnya diterima dalam lingkaran elit “princelings”. Ia dipilih menjadi Presiden hasil kompromi dari dua faksi Jiang Zemin dan Hu Jintao yang buntu untuk mendorong pilihannya. Oleh mereka, Xi dianggap figur yang dapat diandalkan dan patuh.

Namun sejak awal, ia menunjukkan bahwa kekuasaannya bukan sekadar simbolik. Xi memusatkan kendali negara dan partai di tangannya, membersihkan lawan politik lewat kampanye anti-korupsi yang kontroversial menyasar faksi Zemin dan Hu Jintao, dan menciptakan kultus pribadi di tengah sistem yang sebelumnya kolektif.

Gaya Kepemimpinan Xi dan Masifnya Skandal Xi membangun kekuasaan yang nyaris absolut. Ia menghapus batas masa jabatan presiden, memperluas pengaruhnya ke semua institusi negara dan militer, dan memperkenalkan ideologi “Xi Jinping Thought” dalam konstitusi. Di balik retorika stabilitas dan kejayaan nasional, kepemimpinan Xi memperlihatkan wajah otoritarianisme baru: kontrol media yang ketat, represi atas kebebasan sipil, dan pengawasan digital yang masif.

Ia bukan sekadar melanjutkan rezim otoriter China, melainkan memperkuat dan menyempurnakannya dalam kerangka “tata kelola total”.Namun, kepemimpinan sentralistik ini gagal membendung keretakan ekonomi yang mulai merajalela. Skandal kolapsnya raksasa properti seperti Evergrande dan Country Garden memperlihatkan kerapuhan model pertumbuhan berbasis utang dan spekulasi.

Pemerintah daerah menumpuk utang tersembunyi, sektor swasta melemah karena intervensi negara, dan investor asing mulai angkat kaki. Ada hampir 30% rakyat China yang bermasalah dengan Bank, dikhawatirkan terjadi krisis di sektor perbankan. Ekonomi yang dulunya tumbuh dua digit kini melambat drastis. Retorika “kemakmuran bersama” tak mampu menutup keresahan masyarakat terhadap masa depan ekonomi mereka.

Di tengah tekanan ekonomi, muncul pula gejolak sosial dan politik. Unjuk rasa “White Paper Revolution” pada 2022 menandai keberanian publik menentang kebijakan zero-COVID dan otoritarianisme Xi. Ketegangan etnis di Xinjiang, protes buruh, serta meningkatnya pengangguran anak muda menjadi gambaran dari rakyat yang mulai gusar.

Di kalangan elite partai, ketidakpuasan atas kepemimpinan Xi semakin nyata, yang awalnya tersembunyi di balik dinding kekuasaan yang tebal lambat laun menembus ke ruang publik.Isu Power Struggle Menggantikan Xi dan China Pasca Xi Meskipun Xi telah membersihkan sebagian besar rivalnya, sinyal-sinyal power struggle tetap menyeruak.

Gaya politik Xi membuat dua faksi kuat yang awalnya tidak ketemu menjadi bersatu bersama para Tetua Partai Komunis dan figur penting yang awalnya diam. Zeng Qinghong, Wen Jiabao, dan Jenderal Zhang Youxia menjadi tokoh sentral menjalankan strategi “membunuh ayam untuk menakuti monyet” untuk menekan, mengiris, dan menetralisir kekuasaan Xi.

Tiga figur dengan sifat dan karakter yang berbeda, namun memiliki satu kesamaan yang kuat — diam, dingin, tegas, fokus, tanpa kamera, tanpa publikasi dan drama.Sampai bulan Mei 2025 ada delapan Jenderal dan dua pejabat tinggi keamanan loyalis Xi yang meninggal, diisolasi, dan tidak aktif/muncul walau masih menjabat.

Di tubuh KMP ada tiga wakil, satu meninggal dan satu lagi dinetralisir, praktis tinggal Jenderal Zhang Youxia. Potongan-potongan peristiwa inilah semakin memperkuat adanya power struggle yang sangat senyap memunculkan tiga skenario. Pertama, mendesak mundur. Kedua, mencopot jabatan lain selain presiden. Ketiga, politik senjata.Rumor yang berkembang para tetua partai mendukung figur reformis seperti Wang Yang untuk menggantikan Xi.

Konon para tetua ini tengah menyusun manuver untuk menyiapkan “era pasca-Xi”. Perbedaan pendekatan terhadap ekonomi dan kebijakan luar negeri menjadi titik friksi utama. Sebuah pertanyaan besar menggantung: apakah era Xi adalah puncak terakhir China, atau permulaan bagi kekacauan politik internal?China Ancaman Strategis Utama AS Bagi Amerika Serikat, China bukan lagi sekadar kompetitor dagang, tetapi ancaman strategis menyeluruh: teknologi, militer, pengaruh global. Laporan-laporan Pentagon dan Kongres AS secara konsisten menyebut Beijing sebagai penantang utama tatanan dunia yang dibentuk pasca-Perang Dunia II.

Ketegangan di Laut China Selatan, teknologi AI dan semikonduktor, hingga perebutan pengaruh di Afrika dan Asia memperjelas bahwa konfrontasi antara dua kekuatan ini bersifat sistemik.Kembalinya Donald Trump ke panggung politik memperuncing dinamika global. Kebijakan luar negeri-nya yang inkonsisten menambah tingginya ketidakpastian dunia.

Di satu sisi, Trump sepertinya akan menerapkan kebijakan isolasionis AS dengan mereform aliansi tradisionalnya dengan Eropa dan aktif mendamaikan perang Rusia-Ukraina. Namun di sisi lain, pernyataan politik dari JD Vance, Rubio, dan Hegseth di berbagai forum resmi menggambarkan sebaliknya untuk bersiap dengan kebijakan sangat agresif demi memperkokoh eksistensi imperiumnya.

Kebijakan inkonsisten, impulsif, bahkan memprovokasi aliansi tradisional-nya dan dunia dengan ditopang anggaran pertahanan 1 triliun dolar AS jelas bahwa Trump seperti memberikan pesan kuat kepada dunia bahwa AS akan terus berusaha minimal mempertahankan tatanan dunia pasca PD II. Bagi Trump, Presiden William McKinley (1897-1901) yang ideologi pemerintahannya dikenal dengan politik proteksionis dan kebijakan imperial luar negeri menjadi inspirasi untuk membangkitkan semangat pendukungnya. Seperti McKinley, Trump percaya pada “America First” bukan hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam penguasaan wilayah pengaruh global.

Dalam konteks ini, kebijakan terhadap China bukan sekadar soal defisit perdagangan, tetapi soal ideologis, yakni siapa yang akan memimpin dunia pasca-globalisasi.Retorika Perang Suci Trump kini menyebut konfrontasi melawan China sebagai “perang suci peradaban”, dengan retorika moralistik dan apokaliptik. Menlu Marco Rubio hingga Menhan Pete Hegseth menyebut China bukan sekadar lawan, tetapi ancaman eksistensial terhadap demokrasi dan nilai-nilai Barat. Bahkan bagi Hegseth di dalam bukunya America Crusade, tegas memosisikan China di mata AS sebagai musuh utama. Ini menciptakan narasi benturan peradaban, yang mempersempit ruang dialog dan menjustifikasi segala bentuk eskalasi.

Xi Jinping: Strategi Bertahan dan Melawan Dalam menghadapi tekanan dari luar dan dalam, Xi menerapkan strategi ganda: bertahan dan melawan. Di satu sisi, ia memperketat kontrol domestik, memperkuat otot kekuasaannya dan membangun narasi nasionalis yang memobilisasi rakyat China melawan “tekanan imperialis Barat” ala Mao.. Di sisi lain, Xi memperkuat aliansi militer dan ekonomi dengan Rusia, Iran, serta Korea Utara di panggung global dengan disertai gaya Diplomasi Wolf Warrior sangat agresif menggantikan strategi tenang ala Deng Xiaoping kepada AS.Dunia Gelap atau Tatanan Dunia Baru Dunia Taiwan menjadi titik api paling berbahaya dalam konflik AS-China.

Berdasarkan Kajian AS sejak 2021, tahun 2027 menjadi tahun krusial China menginvasi Taiwan yang bertepatan 100 tahun berdirinya PLA. Hal ini ditegaskan kembali oleh Menhan Pete Hegseth di Dialog Shangri-La, Singapura pada 31/5/25. Setiap manuver militer di Selat Taiwan bisa menjadi pemantik konflik terbuka.

Dalam konteks ini, Taiwan bukan sekadar isu teritorial, melainkan simbol dari pertarungan global untuk mengubah lanskap politik dunia.Jalan Buntu AS dan China, dengan kondisi AS terpolarisasi secara internal dan China yang kian represif, dunia menghadapi jalan buntu geopolitik. Upaya diplomasi multilateral tak mampu mengimbangi eskalasi retorika dan aksi unilateral dua kekuatan besar ini. Banyak negara, terutama di Global South, terjebak dalam dilema: bergabung dalam salah satu blok atau mencoba bertahan di tengah arus pertarungan global.

Apakah ini awal dari Perang Dingin Baru yang membawa kehancuran dan fragmentasi? Ataukah konflik ini akan memaksa lahirnya tatanan dunia baru yang lebih multipolar dan adil? Di balik semua ketegangan, ada peluang bagi rekonstruksi tatanan global, namun itu hanya bisa terjadi bila kepemimpinan dunia berani keluar dari logika zero-sum dan menyentuh akar masalah: distribusi kekuasaan global yang timpang.

Penutup Bagi Indonesia, dinamika ini menyimpan pelajaran penting. Pertama, jangan menyerahkan masa depan negara kepada satu tokoh yang anti kritik, apalagi yang mau menyelundupkan konstitusi untuk memperpanjang kekuasaan dirinya dan atau keluarganya. Kekuasaan yang mempermanenkan para relawan-nya untuk menggebuk pengkritik justru sama berbahayanya saat di era Stalin dan akhirnya kekuasaan tersebut kehilangan kapasitas untuk membaca zaman. Kedua, kebutuhan untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri agar tidak mudah terpengaruh guncangan eksternal. Ketiga, urgensi membangun tata kelola politik yang transparan dan adaptif terhadap perubahan global. Keempat, menggelorakan Semangat Bandung 1955 yang berlandaskan Solidaritas, Kemandirian, dan Anti-Kolonialisme sesuai tantangan zaman.

Penulis: Bernard Haloho, Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institute (Ind-Bri) *

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Opini