Opini  

Blood Moon, Fenomena Alam yang Menginspirasi Manusia Sejak Dulu Kala

Langit jadi panggung pertunjukan kosmik, gerhana bulan total, bulan menjadi merah merona di langit yang hitam/Foto:fb@hasyimarsal/istimewa

GlobalReview-Jakarta-Usai Matahari “pulang” pada Minggu, 7 September 2025 kemarin, tibalah langit malam jadi arena pertunjukan kosmik yang luar biasa, gerhana bulan total.

Peristiwa yang langka ini mengubah bulan purnama yang bulat presisi dan bersinar terang menjadi bola merah (Blood Moon) yang memikat di langit yang gelap.

Tulisan di bawah ini, menarik disimak, memberikan banyak pengetahuan terkait fenomena alam ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Blood Moon

Oleh : Hasyim Arsal Alhabsi*

Pada Malam Ahad–Senin, 7–8 September 2025 (WIB), Indonesia—termasuk Jakarta—mendapat “panggung utama” gerhana Bulan total. Fasenya terbentang sekitar 5 jam 27 menit: dimulai ±22.28 WIB (7 Sep), totalitas 00.30–01.53 WIB (8 Sep), puncak ±01.11 WIB, dan berakhir ±03.55 WIB. Jadi, di zona WIB peristiwa ini berlangsung 7–8 September, bukan sampai 9 September; tanggal bisa bergeser di kawasan dunia lain karena perbedaan zona waktu.

Secara global, totalitas dapat disaksikan luas dari Asia, Australia, Afrika, dan Eropa—menjadikannya salah satu gerhana paling “merata” dari segi jangkauan penonton beberapa tahun terakhir.

Mengapa Bulan memerah? Saat gerhana total, Bulan melintas sepenuhnya di dalam umbra (bayangan inti) Bumi. Cahaya biru Matahari terserak oleh atmosfer (Rayleigh scattering), sementara gelombang merah dibiaskan mengitari Bumi dan “menyapu” permukaan Bulan—melukiskannya menjadi merah tembaga: Blood Moon. Fenomena alamiah ini aman ditatap dengan mata telanjang.

Bagi pecinta langit, malam ini juga sekaligus “kelas terbuka” kosmologi: kita bisa mengamati masuk–keluar Bulan dari penumbra dan umbra, memotret perubahan kecerlangan, bahkan membandingkan warna di berbagai ketinggian atmosfer (aerosol/partikulat memengaruhi “kedalaman” merah). Sains memberi penjelasan; rasa syukur memberi makna. Al-Qur’an pun menyebut Matahari dan Bulan sebagai “ayat-ayat” (tanda-tanda) yang ditata dalam orbitnya (QS. 10:5; 21:33).

Ibadah yang Dianjurkan: Shalat Gerhana (Khusūf / Salāt al-Āyāt)

Gerhana—bukan tanda sial, tetapi momen tafakkur. Tradisi Islam menganjurkan shalat gerhana sebagai respons ibadah atas “ayat” Allah di langit.

A. Tata cara (ringkas, arus utama di Indonesia):
• Hukum & Waktu: Sunnah mu’akkadah; dikerjakan sejak gerhana mulai hingga berakhir (sendiri atau berjemaah). Tidak ada azan/iqamah; cukup seruan “ash-shalātu jāmi‘ah”.
• Format: 2 rakaat; setiap rakaat 2 kali berdiri & bacaan (Al-Fātiḥah + surat), 2 kali rukuk, lalu sujud—sehingga total 4 rukuk dalam 2 rakaat. Dianjurkan memanjangkan bacaan, rukuk, dan sujud, lalu diakhiri doa, zikir, istighfar, dan sedekah.

B. Catatan lintas mazhab (untuk penyempurna pengetahuan):
Dalam mazhab Ja‘farī (Ahlulbait), shalat ini dikenal sebagai Salāt al-Āyāt dan berhukum wajib saat terjadi gerhana. Formatnya 2 rakaat, setiap rakaat 5 rukuk (total 10 rukuk), dengan beberapa cara pelaksanaan yang sah.

Kapan paling ideal malam ini?
Untuk wilayah WIB: niatkan shalat antara gerhana mulai (±22.28) hingga berakhir (±03.55). Jika ingin merasakan “puncak suasana”, pilih rentang totalitas 00.30–01.53 WIB.

Mengubah Pengamatan jadi Perenungan

Menatap Blood Moon memberi tiga pelajaran:
1. Keteraturan: Gerhana bukan kebetulan; ia buah ketelitian hukum kosmik.
2. Keterbatasan: Cahayanya meredup—seperti kekuasaan dan popularitas—namun kembali utuh sesuai waktunya.
3. Keberserahan aktif: Kita bertindak (shalat, zikir, sedekah), bukan pasif cemas oleh takhayul.

Semoga malam ini menjadi laboratorium syukur: mata memandang tanda-tanda, hati memuji Pemilik tanda-tanda.*

* Dehills Corp