
GlobalReview-Jakarta-Setelah terkoreksi di semester I, industri properti tanah air diperkirakan akan menjadi lebih baik, berpotensi tumbuh di semester II tahun 2025 termasuk akan ada tren kenaikan harga properti dan recurring income. Hal ini dimungkinkan seiring realisasi insentif fiskal Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan penurunan atau stabilisasi suku bunga Bank Indonesia (BI) yang mendukung pembiayaan properti serta adanya program pembangunan 3 juta rumah oleh pemerintah.
Baca juga :TNI Kerahkan Kekuatan Laut dan Udara Respon Cepat Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya
Research Analyst Phintraco Sekuritas, Nurwachidah dilansir Redaksi, Jumat, 4/7/25 dari beragam sumber mengatakan hingga akhir semester II tahun 2025, kondisi makroekonomi Indonesia relatif solid, tingkat inflasi sejalan dengan asumsi BI, yaitu 1,5%-3,5% di 2025 sehingga suku bunga Bank Indonesia (BI rate) berpotensi dipangkas 25 – 50 basis poin (bps). The Fed ataupun European Central Bank (ECB) juga diperkirakan masih akan memangkas suku bunga acuan.
Baca juga :Loman Park Hotel : Jembatan Budaya dan Pusat Kolaborasi Akademik di Yogyakarta
“Stimulus dari pemerintah yang akan melanjutkan program PPN DTP hingga akhir tahun 2025 untuk harga rumah Rp 2 miliar – Rp 5 miliar menguntungkan emiten properti yang memiliki lebih banyak portofolio propertinya dengan harga Rp2-Rp5 miliar dan siap diserahterimakan di tahun 2025. Dilanjutkannya kebijakan diskon Loan to Value sebesar 100% sampai akhir tahun ini juga menguntungkan perusahaan properti yang memungkinkan pembelian rumah DP 0%,”kata Nurwachidah.
Baca juga :Pramudya Iriawan Resmi Jabat Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Ini Janjinya
Namun demikian hingga akhir tahun 2025 industri properti juga masih terimbas sentimen negatif yang berasal dari beberapa faktor diantaranya kenaikan PPN menjadi 12% yang akan berimbas pada daya beli masyarakat yang sekarang sudah melemah, ketidakpastian suku bunga global yang mempengaruhi BI Rate dan adanya efisiensi anggaran dari pemerintah yang berdampak pada sektor perhotelan dan properti komersial.
Baca juga :Investor Ritel Dominasi Pasar : Mengapa Pemahaman Makroekonomi Global Semakin Krusial
“Sentimen negatif untuk kinerja emiten properti berasal dari pelemahan daya beli konsumen, yang juga diiringi dengan pertumbuhan penjualan properti residensial yang lebih rendah.Penjualan properti residensial tumbuh 0,73% YoY atau 33.92% secara kuartalan di kuartal I 2025, dibandingkan -15,09% YoY di akhir tahun 2024,”jelas Nurwachidah.
Saat ini menuju semester II tahun 2025,valuasi saham emiten properti masih berada di bawah kinerja harga sahamnya (undervalue), sehingga belum sejalan dengan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan properti. Namun demikian, berkaca pada berbagai katalis di atas dan kinerja emiten properti, Nurwachidah merekomendasikan beli untuk SMRA Rp600 persaham.*
