
GlobalReview-Jakarta-Indonesia berkeinginan bergabung ke kelompok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa) untuk menjalin kerjasama dan membuka peluang strategis termasuk dalam isu geopolitik global. Rusia merupakan negara yang memprakarsai pembentukan BRICS. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono keinginan Indonesia bergabung dengan kelompok ekonomi BRICS tersebut merupakan kebijakan pemerintah yang perlu didukung. Dave, juga mengatakan bahwa masuknya Indonesia ke BRICS juga membuka peluang dialog yang menjamin kesejahteraan warga hingga menjadi forum perdamaian dunia.
Baca Juga : Kerjasama OK OCE dan University Southern of California Berlanjut Hingga 2025
“Ini merupakan kebijakan pemerintah yang wajib kita dukung. Semua peluang kerja sama ekonomi yang membuka komunikasi dan dialog yang menjamin kesejahteraan warga dan dapat menjadi forum perdamaian dunia wajib kita jalankan sesuai dengan UUD 1945 kita. Sejalan dengan pidato Prabowo di MPR. Ini merupakan tanggung jawab kita semua,” ujar Dave, Politisi Fraksi Partai Golkar ini, Minggu (27/10/2024).
Terkait keinginan tersebut kata Dave proses bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS bukan untuk memihak kepada satu pihak. Sebab, politik luar negeri Indonesia berasas bebas aktif. Komisi I DPR, kata Dave, akan membahasnya bersama pemerintah, Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Pembahasan dilakukan di tengah proses bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS.
Baca Juga : RANTANG dan YPKM Fasilitasi Penerimaan Diri Lewat Art-Therapy dan Sharing Session
Hal senada diungkapkan Komisi I DPR RI, Anggota Komisi I DPR, Sukamta. Menurutnya Komisi I DPR RI mendukung rencana Pemerintah untuk membawa Indonesia bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS Plus. Masuknya Indonesia sebagai mitra kelompok kekuatan ekonomi BRICS dinilainya bisa membuka berbagai peluang strategis termasuk dalam isu geopolitik global.
“Keanggotaan BRICS tidak hanya tentang keuntungan ekonomi, tetapi juga geopolitik. Di tengah ketegangan geopolitik global dan kompetisi ekonomi antara negara-negara besar, Indonesia perlu menjaga keseimbangan. Harapannya Indonesia akan memiliki akses yang lebih luas ke pasar-pasar non-tradisional seperti Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan,” kata Sukamta, Senin (28/10/2024).
Baca Juga : Erick Thohir : Komplit, Semua Timnas Lolos Ajang Piala Asia, Bukti Level Kita Sudah Naik
Menurut Sukamta, bila resmi bergabung dengan BRICS, memungkinkan Indonesia memperkuat hubungan dengan negara-negara berkembang sambil tetap mempertahankan kemitraan strategis dengan Barat. Upaya ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di panggung ekonomi global. Saat ini masih menunggu persetujuan, prosesnya masih berlanjut.
“Langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan bagian dari strategi besar untuk memperkuat kemandirian dan kedaulatan ekonomi sambil tetap menjaga keseimbangan hubungan dengan mitra tradisional di Barat. Apalagi diketahui, BRICS memiliki lembaga keuangan seperti New Development Bank (NDB) yang bisa menjadi sumber pendanaan alternatif bagi proyek-proyek besar di Indonesia. Termasuk infrastruktur, energi dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia harus tetap menjadi jembatan dialog antar kekuatan dunia, baik di Timur maupun Barat,” ujar Sukamta.
Keinginan Indonesia bergabung ke BRICS menyusul keterangan yang didapat usai Menteri Luar Negeri, Sugiono mengikuti KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, pada pekan lalu. Kehadiran Sugiono ke forum tersebut diutus Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya akan menghadiri acara tersebut Prabowo namun berhalangan karena memiliki sejumlah agenda yang harus dituntaskan usai pelantikan sebagai Presiden. Dalam kesempatan tersebut Sugiono menyampaikan rasa terima kasih dan permohonan maaf dari Prabowo yang tak bisa hadir langsung di Rusia.
Keinginan Indonesia ini mendapat respons positif dari Rusia sebagai negara inisiator forum tersebut. Saat ini selain Indonesia, ada 12 negara yang berkeinginan menjadi negara mitra BRICS yaitu Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan dan Vietnam.*
