GlobalReview, Jakarta – Persoalan etika dan moralitas kembali menjadi pekerjaan rumah besar dunia hukum Indonesia. Profesi advokat, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru sering mencoreng nama sendiri.
Rudi Rusmadi mengungkapkan pada kasus hukum Muhammad Anzar Latifansyah sebagai contoh karena pelanggaran kode etik berat. Sanksi itu bukan sekadar teguran, melainkan upaya pembinaan agar advokat bersangkutan memperbaiki perilaku menyimpang, hanya berselang satu bulan putusan etik yang sudah final itu mendadak dibatalkan.
Baca juga: Pasar Kripto Konsolidasi Pasca Kebijakan The Fed dan Pertemuan Trump – Xi Jinping
“Peringatan keras adalah bentuk pendidikan moral. Tujuannya agar advokat memperbaiki perilaku, menjaga integritas, dan mengembalikan kepercayaan publik,” kata Rudi, Senin (3/11).
Baca juga: Mikroplastik Ada di Air Hujan, Apa Dampaknya Buat Tubuh?
Secara prinsip, kata Rudi, etika bersifat universal, bukan selektif. “Kalau pelanggaran moral di tingkat majelis etik dianggap salah, maka pelanggaran moral di tingkat pimpinan juga salah. Kecuali, memang ada dua versi etika yang berlaku di KAI 2008,” ujarnya.
Baca juga: RSCM Resmikan Program Code Stroke Komprehensif Berstandar Internasional
Menurut Rudi, keputusan membatalkan putusan etik yang sudah final, menunjukkan turunnya standar moral.
“Kini, KAI 2008 berada di persimpangan sejarahnya sendiri. Di satu sisi, organisasi ini mengusung nama besar dan kehormatan profesi advokat; di sisi lain, keputusannya justru dipertanyakan karena dinilai bertentangan dengan prinsip etik yang mereka tegakkan,” tutupnya. *










