Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja : Biaya operasional penerbangan di Indonesia selama 2025 masih tinggi

Harapan di tahun 2026, industri penerbangan nasional menjadi sehat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomia nasional/Foto: pixabay

GlobalReview-Jakarta-Selama tahun 2025, INACA mencatat dinamika yang terjadi di industri penerbangan tanah air. Beberapa diantaranya adalah biaya operasional penerbangan yang masih tinggi, melebihi tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 2019 dan belum diubah sampai saat ini.

Peningkatan biaya operasional penerbangan tersebut jelas Ketua Umum INACA (Indonesia National Air Carriers Association), Denon Prawiraatmadja dalam Laporan Akhir Tahun 2025 yang diterima Redaksi, Selasa, 30/12/25, adalah sebagian besar disebabkan oleh peningkatan nilai kurs dollar AS, peningkatan harga avtur dan masih adanya bea masuk spareparts pesawat.

Baca juga: Maskapai Penerbangan Memerlukan Political Will Pemerintah Untuk Tingkatkan Konektivitas dan Pertumbuhan Perekonomian Nasional

“Peningkatan nilai tukar (kurs) mata uang Rupiah terhadap Dollar AS naik tinggi di mana tahun 2019 rata-rata 1 USD adalah Rp.14.136,- sedangkan pada tahun 2025 (November) sudah mencapai Rp.16.449,- atau naik 16%,” jelas Denon.

Denon mengatakan biaya operasional maskapai penerbangan 70% menggunakan Dollar AS, sedangkan pendapatan maskapai nasional adalah dari Rupiah, sehingga dengan naiknya nilai tukar Dollar AS akan semakin membebani keuangan maskapai penerbangan nasional.

“Fluktuasi harga avtur di Indonesia, di mana pada tahun 2019 harga avtur sebesar Rp.10.442,- sedangkan tahun 2025 sudah mencapai Rp.13.968,- atau naik sebesar 34%,” ujar Denon.

Baca juga: Puncak Arus Natal Terkelola, 15 Lintasan Pantauan Nasional Lancar Terkendali

Selain biaya avtur dan kurs, adanya bea masuk antara 2,5 – 25 % untuk 349 HS Code atau 74% dari 472 HS Code terkait spare part pesawat dengan jumlah 22.349 part number juga berdampak terhadap kinerja industri penerbangan tanah air.

Selain itu juga adanya isu di masyarakat di mana harga tiket penerbangan domestik dianggap lebih mahal dibanding tiket penerbangan internasional dan disahkannya Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional oleh DPR pada 25 November 2025.

Baca juga: Resensi buku “Memahami Perjanjian Pengelolaan Hotel”

Maraknya penerbangan carter illegal di wilayah Indonesia, sebagaimana diketahui dari kasus penyewaaan pesawat jet pribadi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di mana kasusnya sekarang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga punya dampak ke industri penerbangan.

“Rencana akan diaplikasikannya penerbangan berkelanjutan dan ramah lingkungan melalui skema CORSIA (Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation) ICAO pada tahun 2026 juga turut andil terhadap perkembangan penerbangan,” ungkap Denon.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun APHA Indonesia Kritisi RUU MHA Terbengkalai Hingga Bencana Banjir Aceh Sumatra

Maskapai hal itu, INACA berharap pemerintah pusat c.q Presiden Republik Indonesia melalui lintas kementerian dan lembaga untuk memberikan political will, sepenuhnya mendukung penyehatan industri penerbangan nasional yang punya multiplier effect bagi perekonomian Indonesia.

“Berdasarkan catatan Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA), kontribusi industri penerbangan Indonesia dan sektor yang terkait pada tahun 2023 adalah sebesar 62,6 miliar USD atau sebesar 4,6 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan jumlah tenaga kerja mencapai 6 juta orang,”ungkap Denon.

Baca juga: Kemendikdasmen: PTP Connect 2025 Perkuat Ekosistem Pembelajaran Berbasis Teknologi

INACA juga berharap diturunkannya biaya operasional penerbangan seperti misalnya perlindungan dari rugi nilai tukar mata uang (kurs), penurunan harga avtur, penghapusan semua PPN dan bea masuk pesawat dan spareparts. Juga berharap dilakukan penyesuaian aturan terkait tarif batas atas (TBA), baik untuk rute penerbangan jarak  pendek maupun rute jarak panjang, serta rute padat dan kurang padat.

“Segera tindaklanjuti Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional dengan aturan-aturan operasionalnya, terutama terkait dengan penggunaan ruang udara bersama (flexibillity use airspace) antara penerbangan sipil dan militer sehingga operasional penerbangan pesawat menjadi lebih efektif dan efisien,”kata Denon.

Baca juga: Rayakan Hari Jadi ke 7, Swiss-Belresort Dago Heritage Bandung Selenggarakan Turnamen Golf

INACA kata Denon juga berharap diberikannya sanksi tegas kepada operator penerbangan carter asing (OC 91 asing)  yang melanggar aturan regulasi penerbangan Indonesia, di mana menurut azas Cabotage, seharusnya pesawat registrasi non-PK (non-Indonesia) tidak dapat melakukan penerbangan komersial di Indonesia.

Terkait rencana pengaplikasian penerbangan berkelanjutan dan ramah lingkungan melalui skema CORSIA secara voluntary tahun 2026 dan mandatory tahun 2027, pemerintah diharapkan untuk mencari skema yang lebih efektif dan efisien baik bagi maskapai penerbangan maupun penumpang pesawat dengan membandingkan skema penggunaan sustainable aviation fuel (SAF) dengan skema carbon offset.

“Di akhir tahun ini INACA tak lupa memberikan apresiasi dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu industri penerbangan nasional selama tahun 2025 seperti: Kementerian Perhubungan serta Kementerian dan Lembaga lain yang terkait, Bank Indonesia, PT. Angkasa Pura Indonesia, Airnav Indonesia, Pertamina Patra Niaga, Jasa Raharja dan semua pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu,”tutup Denon.*