Connect with us

Ekonomi Global

Kinerja dan Tantangan Perekonomian Nasional

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, DR (HC) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT, MBA/Foto:Istimewa

GlobalReview-Jakarta-Hari ini, Selasa 8 April 2025, di Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, DR (HC) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT, MBA menyampaikan kinerja dan tantangan perekonomian Indonesia di tengah isu global, Gelombang Perang Tarif Perdagangan.

Dalam acara sarasehan ekonomi bersama Presiden RI bertema “Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional” Airlangga mengungkap sejumlah fakta dan capaian Indonesia di tahun 2024 dan tantangannya di tahun 2025.

Berikut petikan pernyataan Airlangga.

Pertama-tama, izinkan kami mengucapkan mohon maaf lahir dan batin dalam rangka Hari Raya Idulfitri. Kedua, izinkan kami menyampaikan kondisi ekonomi. Kalau kita lihat dari sisi pertumbuhan, ekonomi tetap tumbuh di angka 5,03%, relatif tinggi. Secara spasial, Papua Barat dan Maluku juga tumbuh di atas rata-rata nasional. Ini seluruhnya akibat hilirisasi, dan kontribusi terbesar datang dari sektor industri/manufaktur, yang hampir 19% dari PDB.

Inflasi terkendali, per hari ini inflasi hanya sekitar 1% year-to-date, termasuk salah satu yang terendah di dunia, baik di G20 maupun secara global. Indeks keyakinan konsumen tetap tinggi di angka 126,4, artinya masih di atas 100 — konsumen masih optimis. Indeks penjualan riil Februari sempat terkontraksi sedikit, namun menjelang Lebaran sudah mulai naik.

Neraca pembayaran kita surplus 7,2 miliar dolar AS. Pertumbuhan kredit cukup baik, di bulan Februari mencapai 10,4%, sementara dana pihak ketiga atau simpanan masyarakat tumbuh di atas 5%, yakni 5,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Cadangan devisa masih cukup tebal, mencapai 154 miliar dolar AS, cukup untuk biaya impor 6,4 bulan ke depan.

Perdagangan Februari juga surplus 3,2 miliar dolar, dan ini merupakan surplus ke-58 bulan berturut-turut.

Peringkat daya saing kita naik ke posisi 27 dari 67 negara, menurut data IMD, naik 7 peringkat. Kinerja ekonomi dan efisiensi bisnis juga membaik. Dari sisi kredit, kita tetap satu tingkat di atas investment grade menurut S&P dan Moody’s. Bahkan Moody’s menyatakan ketahanan Indonesia ditopang oleh pasar domestik yang kuat serta komitmen terhadap kebijakan fiskal dan moneter yang kredibel, termasuk hilirisasi dan peningkatan daya saing sektor manufaktur.

Dalam hal rantai pasok dan bahan baku ekspor, intermediasi perbankan tumbuh positif, dengan risiko yang terkendali. DPK tumbuh di atas 5%, kredit di atas 10,42%, likuiditas terjaga dengan Loan to Deposit Ratio di angka 88,92%. Capital Adequacy Ratio sebesar 27%, menunjukkan perbankan kita relatif tangguh, berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya.

Pengeluaran masyarakat selama Ramadan naik ke angka Rp248,1 triliun, menunjukkan daya beli masyarakat yang menguat.

Meski dunia sedang tidak baik-baik saja, indikator pasar keuangan memang masih fluktuatif. IHSG masih negatif, namun sudah dalam tren positif. Nilai tukar rupiah relatif stabil meski ada pelemahan, tetapi dibandingkan negara lain seperti Jepang, kita masih lebih baik. Bahkan Amerika menuding beberapa negara sebagai currency manipulator, dijadikan alasan untuk hambatan non-tarif.

Presiden Amerika telah mengumumkan penetapan tarif baru, yang langsung memicu lonjakan economic uncertainty ke tingkat tertinggi. Kebijakan ini juga mendorong peningkatan persepsi risiko global. Namun, Indonesia relatif masih rendah di level 5%. Triple shocks terjadi dan menyebabkan gejolak di pasar keuangan dunia, termasuk pelemahan mata uang negara emerging markets. Banyak korporasi global menahan ekspansi dan investasi, konsumsi ikut menurun.

Sejumlah komoditas strategis dunia mengalami penurunan harga, seperti minyak mentah (Brent) yang turun 20%, batu bara turun menjadi USD 97 per ton, dan crude palm oil juga menurun. Satu-satunya komoditas yang mengalami kenaikan adalah emas. Karena itu, peluncuran Bullion oleh Presiden sangat tepat waktu. Emas kini menjadi instrumen lindung nilai yang penting, di samping dolar AS.

Di sisi lain, harga kedelai, gandum, dan beras juga menurun. Penurunan harga komoditas global ini akan menahan tekanan inflasi di dalam negeri.

Merespons kondisi global tersebut, sejumlah negara mengambil langkah-langkah kebijakan. China mengenakan tarif impor atas barang dari AS hingga 34%. Vietnam meminta penundaan tarif, terutama untuk produk seperti Nike, namun belum mendapat respons dari AS. India juga tetap dikenai sanksi meskipun Perdana Menterinya telah melakukan pendekatan ke AS. Malaysia memilih mengikuti langkah ASEAN, sementara Indonesia mengambil pendekatan diplomatik melalui negosiasi, serta membuka akses pasar dan kerja sama intra-ASEAN.

ASEAN secara keseluruhan merupakan penyumbang defisit terbesar kedua bagi AS setelah China. Indonesia menyumbang USD 19,34 miliar, Thailand USD 4,8 miliar, dan Malaysia USD 2,6 miliar. Maka dari itu, kunjungan Presiden ke Kuala Lumpur baru-baru ini sangat strategis untuk menyatukan langkah ASEAN menghadapi tarif AS.

Tarif impor negara pesaing kita bervariasi: Vietnam dan Thailand tarifnya lebih rendah, sementara Kamboja lebih tinggi. Singapura tercatat yang paling rendah, hanya 10%. Beberapa komoditas kita yang sebelumnya diekspor ke AS, seperti tekstil dan alas kaki, dikenakan tarif tambahan, namun produk strategis seperti emas, tembaga, dan furnitur dikecualikan karena AS sedang dalam konflik dagang dengan Kanada dan membutuhkan sumber alternatif.

Untuk produk sepatu, tarif AS naik sekitar USD 6 per pasang dengan harga jual di sana USD 70–80. Sementara harga beli dari Indonesia rata-rata hanya USD 15–20, artinya dampaknya tidak sebesar 30%. Hal serupa juga terjadi pada pakaian.

Ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang 2,2% dari total PDB, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 33%. Dengan begitu, dampaknya ke Indonesia bisa diredam. Presiden menyatakan kita harus memperluas pasar, tidak hanya bergantung pada AS. Ekspor utama Indonesia masih ke China (USD 26 miliar) dan India (USD 21 miliar), yang bisa dioptimalkan.

Dalam jangka pendek, daya beli masyarakat terus dijaga melalui berbagai program seperti bansos, THR, serta stabilisasi harga pangan. Stimulus ekonomi juga sudah berjalan, termasuk diskon tarif di awal tahun, subsidi motor listrik, dan relaksasi PPN properti.

Kebijakan pemerintah untuk sektor padat karya juga diperkuat. Gaji hingga Rp10 juta dibebaskan dari PPh, agar pengusaha tidak mengurangi tenaga kerja. Pemerintah menyiapkan Rp300 triliun untuk sektor-sektor seperti makanan minuman, tekstil, kulit, dan furnitur — yang semuanya tumbuh positif di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah juga telah menerbitkan regulasi untuk menyalurkan kredit investasi dengan bunga disubsidi 5% bagi UMKM dengan pinjaman Rp500 juta sampai Rp10 miliar. Dengan subsidi ini, bunga pinjaman dari bank yang bisa mencapai 13–14% akan turun menjadi 8%. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat produktivitas sektor padat karya.

Pemerintah juga telah mewajibkan devisa hasil ekspor untuk dikembalikan ke dalam negeri, guna memperkuat cadangan devisa. Jika seluruhnya dijalankan, potensi tambahan devisa bisa mencapai lebih dari USD 100 miliar. Namun karena implementasi dimulai pada bulan April, angkanya masih belum maksimal.

Terkait Bullion Bank, sudah ada dua yang siap beroperasi. Namun masih diperlukan regulasi tambahan karena transaksi Bullion Bank tidak bersifat gadai, melainkan dalam bentuk deposito yang bisa dijaminkan. Presiden diminta untuk mempercepat regulasi agar bullion bank dapat masuk dalam sistem perbankan nasional.

Presiden juga menekankan pentingnya merespons peluang pasar Amerika. Saat ini, Indonesia sudah mengirim surat resmi kepada Pemerintah Amerika, yang telah diterima melalui Kedutaan Besar. Dubes AS pun sudah meminta waktu untuk pembicaraan lanjutan.

Pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada berbagai asosiasi pelaku usaha seperti KADIN, Apindo, MCF, dan lebih dari 100 asosiasi lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia. Mereka memiliki kepentingan agar tetap bisa mengekspor ke AS, dan mereka juga mendukung langkah Indonesia dalam negosiasi tarif.

Beberapa produk Indonesia seperti emas, tembaga, dan furnitur tidak dikenakan tarif tinggi karena AS sedang berselisih dagang dengan Kanada dan butuh sumber alternatif. Ini membuka peluang Indonesia untuk melakukan hilirisasi dan masuk ke pasar AS, terutama melalui alas kaki dan pakaian yang tidak dianggap produk strategis oleh AS. Bahkan, perusahaan seperti Nike sudah menghubungi langsung pemerintah Indonesia untuk memastikan kelangsungan produksi dan ekspor mereka dari Indonesia.

Jika dibandingkan dengan negara pesaing seperti China, Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh, tarif produk alas kaki Indonesia justru lebih rendah. Ini bisa menjadi momentum untuk merebut pasar ekspor, asalkan efisiensi dan kapasitas produksi ditingkatkan.

Selain itu, ekspor ke AS hanya mencakup 2,2% dari PDB Indonesia, berbeda dengan Vietnam yang mencapai 33%. Artinya, Indonesia lebih tangguh menghadapi gejolak pasar AS dan bisa mencari alternatif pasar ekspor.

Presiden juga telah menyetujui pembelian produk pertanian dari AS seperti soybean dan wheat — yang tidak diproduksi di dalam negeri — untuk menjaga keseimbangan neraca dagang. Pemerintah juga akan membeli LPG dan LNG dari AS melalui relokasi, bukan penambahan volume, sehingga tidak membebani APBN.

Insentif fiskal dan nonfiskal disiapkan untuk mendorong masuknya impor AS ke Indonesia, sekaligus meningkatkan daya saing ekspor kita. Hal ini sudah dikomunikasikan ke Pemerintah AS melalui surat resmi, dan telah diterima.

Indonesia juga aktif mendorong kerja sama internasional. Selain melalui ASEAN, pemerintah menjajaki berbagai inisiatif seperti CPTPP bersama Malaysia, serta sudah membuka akses terhadap CEPA dan IPEF. Indonesia juga bergabung dalam New Development Bank (NDB) dan melakukan pendekatan dagang dengan Rusia, termasuk pembukaan akses pasar di sana.

Terakhir, meskipun ketidakpastian global semakin tinggi, fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Daya saing meningkat, peringkat kredit stabil, dan sektor keuangan terjaga. APBN difungsikan sebagai peredam (shock absorber), dengan pasar domestik sebagai penopang utama. ASEAN menjadi mitra strategis untuk menghadapi tekanan eksternal, dan langkah-langkah kolaboratif sudah disiapkan. Presiden juga dijadwalkan akan menghadiri pertemuan Menteri Perdagangan ASEAN pada hari Kamis, sebagai respons awal menghadapi kebijakan tarif baru AS.*

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Ekonomi Global