Connect with us

Travelling

Mengenal MAROKO Lebih Dekat, Negri dengan Bauran Budaya Arab, Eropa dan Berber (2)

Salah satu sudut kota Marrakech di Maroko/Foto: Bambang Subagio

GlobalReview-Marrakech-Di rubrik TRAVELLING kali ini masih berlanjut laporan perjalanan kontributor GlobalReview, H. Bambang Subagio dari negri Magribi, Maroko

Setelah menyambangi beberapa destinasi di kota Casablanca (di Jakarta ada Jalan bernama Casablanca sebagai balasan kebaikan atas pemberian nama Jalan Soekarno di salah satu ruas jalan di kota Rabbat, Maroko) penulis melanjutkan perjalanan dan bermalam di kota Marrakech yang dikenal sebagai “Mutiara dari Selatan,”. Kota ini berada di Barat Daya Maroko di kaki Pegunungan Atlas. Marrakech berasal dari kata Berber yang berarti negeri Tuhan.

Selamat membaca…

Malam pertama di negeri Maghribi, kami menyempatkan singgah ke Marrakech. Sebuah kota di pinggiran Maroko, yang ditempuh dalam waktu 3 jam dari Casablanca.

Destinasi wajib bak pasar malam yang pantang dilewatkan adalah Jemaa el-Fnaa. Sebuah lapangan besar (ruang publik) dan pasar tradisional di kawasan kota tua sekaligus ikon wisata Marrakech ini menggambarkan keberagaman dan keterbukaan Maroko.

Penulis sedang dibalutkan sorban khas Marrakech/Foto: Bambang Subagio

Jemaa el-Fnaa berarti ‘jemaah yang fana’ karena tempat ini selalu ramai dikunjungi banyak orang, siang dan malam.

Siang hari, dipenuhi kedai yang menjual minuman tradisional, topeng monyet, dan snake charmer. Pada malam hari, makin ramai dengan para dancing-boys, story-tellers, pesulap dan kedai yang menjual makanan dan minuman.Karena keunikannya, Jemaa el-Fnaa dimasukkan dalam UNESCO Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Ada yang menyebut lokasi itu bentuk raksasa Malioboro di Yogyakarta.

Teh dengan daun mint melimpah, merupakan menu favorit yang ditawarkan kepada pengunjung di lapangan yang berada di Old City Medina, Marrakesh ini.Menunggang delman dengan tarif 150 DH, menjadi agenda terakhir kami sebelum terlelap di Hotel Mogador, Kasbah.

Masjid Koutobia berada kota Marrakesh/Foto: Bambang Subagio

Berkunjung ke Masjid Koutobia

Hari kedua di Maghribi, berkesempatan mengunjungi Masjid Koutobia yang berada tepat di jantung kota Marrakesh atau sekitar 200 meter dari Alun-alun Jamel Funa. Tepatnya berada di Jalan Avenue Mohammad V, jalan antara Medina dan Gueliz.

Masjid dengan satu menara, sekaligus ikon kota Marrakesh, Maroko ini, dibangun pada abad ke-12 oleh Dinasti Almohad, Khalifah Yaqub Al Mansur. Masjid ini dikelilingi pohon palem, terlihat indah karena dibangun dengan paduan arstitektur Maroko dan Andalusia.

Tinggi menara sekitar 77 meter, merupakan menara tertinggi kota Marrakesh karena hukum setempat melarang segala pembangunan melampaui tinggi menara Koutobia ini. Menara masjid berbentuk segi empat dengan tiga bola emas tersusun di ujung atas nan indah dan menakjubkan ini tergolong istimewa, karena hanya dapat dimasuki oleh umat Islam. Pengunjung yang beragama lain dilarang memasuki menara agung ini.

Satu keunikan lain Masjib Koutobia yakni memiliki nama beragam. Misalnya Jami’ al-Kutubiyah, Kutubiya Mosque, Kutubiyyin Mosque, dan Mosque of the Booksellers. Nama-nama ini diambil karena dahulu area di sekitar masjid banyak ditemukan penjual buku atau naskah pada abad ke-12 sampai 13 yang kemudian nama tersebut melekat pada Masjid Koutoubia karena berlokasi di wilayah tempat para pedagang berjualan buku.

Bangunan Masjid Koutobia sendiri pernah direkonstruksi ulang karena arah kiblatnya salah. Hingga saat ini, di sekeliling Masjid terdapat taman yang indah dan puing-puing bekas rekonstruksi masih bisa dilihat dengan jelas.

Singgah di Istana Bahia 

Belum lengkap berkunjung ke Marrakesh, tanpa singgah ke Istana Bahia (Bahia Palace) . Salah satu warisan seni arsitektur tertinggi Islam yang dibangun selama 14 tahun, pada abad ke-19 ini, merupakan bangunan bersejarah paling indah di Maroko.

Bahia berada di kawasan Medina di Marrakesh, situs warisan dunia Unesco sejak 1995 dan distrik Mellah (kawasan Yahudi di kota itu).

Pelataran Istana Bahia/Foto: Bambang Subagio

Terletak di sepanjang pantai barat laut Afrika, Maroko, Istana Bahia saat ini, masih berfungsi sebagai kantor milik pemerintah. Namun sebagian dari delapan hektar komplek istana terbuka untuk umum. Termasuk 150 ruangan yang bebas dikagumi keindahannya oleh warga sipil.

Pembangunan dan dekorasi awal Istana Bahia dimulai oleh Vizier Si Moussa pada tahun 1860-an. Pembangunan dilanjutkan pada tahun 1894 sampai 1900 oleh Abu ‘Bou’ Ahmed, seorang budak kulit hitam yang berhasil meraih kekuasaan sebagai vizier baru.

Istana ini juga menjadi tempat tinggal Ba Ahmed bersama empat istrinya dan 24 selirnya yang terletak di sekitar Grand Courtyard.Daya tarik utama Bahia, yakni Grand Courtyard, atau disebut Courtyard of Honor, yang terletak di bagian belakang istana. Area terbuka ini dikelilingi oleh pilar marmer. Di sinilah pengunjung pernah diterima untuk menyampaikan keluhan mereka kepada wazir agung, Si Musa, yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan Sultan Mohammed Abdal Rahman.*oleh :Bambang Subagio (berlanjut)

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Travelling