
GlobalReview-Jakarta – Pasar industri real estate di Indonesia dinilai masih belum matang, sehingga banyak investor enggan untuk berinvestasi meskipun mereka menyadari potensi besar yang dimiliki negara ini. Salah satu penyebab utamanya adalah metode investasi real estate di Indonesia yang masih dilakukan secara konvensional, dengan minimnya instrumen finansial yang memungkinkan investor untuk keluar dan merealisasikan keuntungan mereka pada waktu yang tepat—strategi yang dikenal sebagai Exit Strategy. Pandangan ini disampaikan oleh Abdullah Syarifuddin, peneliti real estate dari Cornell University.
“Sebagai ilustrasi, bayangkan jika Anda adalah seorang pebisnis dari luar negeri yang menerima undangan untuk berinvestasi di Indonesia. Saat membaca undangan tersebut, Anda merasa antusias karena melihat bahwa pemerintah Indonesia menawarkan berbagai insentif menarik, seperti kemudahan dalam proses perizinan dan keringanan pajak” Ujar Abdullah.
Baca Juga : Daya Cipta Tiara Akan Bangun Perumahan dan Apartemen di Klipang Semarang
Lebih lanjut, Abdullah meyakini bahwa jenis investasi yang diharapkan adalah investasi asing langsung (Foreign Direct Investment atau FDI). Dengan demikian, diharapkan pebisnis asing tersebut akan berinvestasi langsung dengan membangun pabrik di Indonesia dan menjalankan kegiatan operasionalnya di dalam negeri. Namun, karena kurangnya pemahaman terhadap hukum yang berlaku di Indonesia serta adanya kekhawatiran terhadap risiko finansial, pembangunan pabrik secara langsung dipandang dapat mengganggu arus kas perusahaan Anda.
“Namun demikian, dengan melihat potensi besar yang dimiliki Indonesia, pebisnis tersebut tetap dapat melanjutkan operasionalnya dengan memilih alternatif untuk menyewa pabrik tersebut secara progresif dalam jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun. Akan tetapi, karena industri real estate di Indonesia masih dikelola secara konvensional, pengembang yang ingin membangun pabrik tersebut harus mengandalkan pembiayaan dari pinjaman bank serta ekuitas mereka sendiri. Hal ini menjadi tantangan karena, seperti yang kita ketahui, sumber ekuitas pengembang sering kali terbatas” tambahnya.
“Di sinilah peran Real Estate Investment Trust (REIT) yang modern dan dapat diterapkan menjadi solusi yang relevan. Skema REIT memungkinkan penggalangan dana dari publik untuk membiayai pembangunan pabrik tersebut. Di Amerika Serikat sendiri, REIT adalah sebuah perusahaan yang fokus pada kepemilikan dan pengoperasian aset-aset real estate yang produktif. Keunikan dari REIT adalah kewajiban mereka untuk mendistribusikan minimal 90% pendapatan kena pajak kepada investor dalam bentuk dividen. Selain itu, REIT juga mendapatkan perlakuan khusus dalam pengenaan pajak penghasilan badan, berkat karakteristik unik dari model bisnisnya” jelas Abdullah.
Skema ini secara tidak langsung menghubungkan aset produktif dengan pasar modal. Dengan memiliki 1% saham dalam REIT, seorang investor berarti memiliki 1% kepemilikan atas seluruh aset yang dimiliki oleh REIT tersebut. Dalam model bisnis ini, pengenaan pajak penghasilan dilakukan pertamakali di level investor, bukan pada level REIT sebagai entitas, sehingga menciptakan efisiensi pajak dan meningkatkan daya tarik investasi.
“Instrumen seperti inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh investor institusional agar tertarik masuk ke pasar Indonesia. Mereka menyadari bahwa setiap aset real estate memiliki siklusnya sendiri, dan ketika tiba saatnya bagi mereka untuk keluar dan merealisasikan keuntungan, mereka memerlukan instrumen finansial yang andal, seperti REIT, sebagai strategi keluar (exit strategy). Di Indonesia, skema REIT sebenarnya sudah ada dan dikenal dengan nama Dana Investasi Real Estat (DIRE)” tambah Abdullah.
“Namun, skema ini belum berjalan sebagaimana mestinya dan masih belum sejalan dengan model bisnis REIT modern yang berlaku saat ini. DIRE di Indonesia menghadapi berbagai kendala, termasuk inefisiensi dalam model bisnis dan perpajakan, yang menghambat optimalisasi potensi instrumen ini. Untuk mencapai modernisasi REIT, diperlukan sinkronisasi peraturan di antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan langkah ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan proyek-proyek berskala internasional, seperti pusat penyimpanan data digital (data center) yang strategis di kawasan regional, taman hiburan berkelas dunia, infrastruktur logistik yang handal dan efisien, serta aset real estate lain dengan nilai investasi yang tinggi.” Tutupnya.*
