GlobalReview-Jakarta – Pada KTT G20 di Bali, pemerintah Indonesia berkomitmen mengejar target pengurangan 70 persen sampah plastik di laut pada tahun 2025. Sampah plastik telah menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup dan juga kehidupan manusia dalam satu dekade terakhir.
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) merilis artikel berjudul White Paper on Plastics Circular Economy and Global Trade, di mana dalam artikel tersebut disampaikan bahwa sebanyak 400 juta ton plastik dihasilkan dunia setiap tahunnya untuk berbagai keperluan, termasuk sebagai bahan pembungkus karena sifatnya ringan dan fungsional.
Masalah sampah plastik inilah yang menjadi perhatian peneliti dari Universitas Mercu Buana, Rizki Briandana, M.Comm, Ph.D, dan Dr. Mohamad Saifudin Mohamad Saleh dari Universiti Sains Malaysia. Keduanya berkolaborasi dalam sebuah penelitian Implementing Environmental Communication Strategy Towards Climate Change Through Social Media in Indonesia, yang terbit pada Online Journal of Communication and Media Technologies (2022).
“Strategi komunikasi dikembangkan untuk menyampaikan pesan lingkungan terhadap kepedulian limbah dan perubahan iklim. Secara khusus, strategi komunikasi ditujukan untuk mengubah sikap dan perilaku individu untuk dapat secara aktif mewujudkan lingkungan yang higienis, nyaman, dan bebas sampah,” tutur Rizki, yang juga Wakil Rektor Universitas Mercu Buana dalam keterangannya, Selasa (17/1/2023).
Rizki menambahkan bahwa, seruan untuk pencegahan perubahan iklim ekstrem dengan tidak menggunakan kantong plastik sudah banyak dilakukan, namun hasilnya belum optimal.
“Karena itu perlunya strategi komunikasi lingkungan yang efektif dalam melakukan kampanye pengurangan sampah plastik,” tutur Ruzki yang akrab disapa Kiko.
Penelitian dilakukan pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bali yang memiliki program kampanye melalui media sosial. LSM ini adalah satu-satunya organisasi yang berhasil mengadvokasi Peraturan Gubernur Bali No. 97 pada tahun 2018 untuk membatasi penggunaan plastik sekali pakai.
Dalam penelitiannya Rizki dan kolega menemukan beberapa temuan dalam program kampanye tersebut, antara lain inkonsistensi, inovasi kampanye yang stagnan dan perah pemerintah yang tidak optimal.
“Dengan demikian beberapa elemen memerlukan penyesuaian ulang dan dukungan dari pelaku industri dan badan pemerintah untuk optimalisasi program,” ujar Rizki.
Rizki juga merekomendasikan agar optimalisasi media sosial sebagai medium menyampaikan pesan lingkungan publik perlu konten alternatif untuk menyampaikan ide dan konsep lingkungan secara akurat kepada publik.
“Komunikasi lingkungan tidak hanya mengenai masalah tata kelola lingkungan, namun juga berbagai aspek yang melibatkan perspektif publik,” pungkas Rizki.*