GlobalReview-Jakarta-Ekspektasi yang besar sebagai buah dari keinginan untuk unjuk gigi bermain di Piala Dunia 2026 tertanam erat di hati terdalam para penggemar sepakbola tanah air. Lawan yang kuat dan notabene langganan “nyepak bola” di ajang Piala Dunia terus dihadapi dengan semangat yang kuat. Tak terkecuali melawan Timnas Jepang. Kita tahu Timnas Garuda kalah telak 4:0, banyak faktor yang mempengaruhinya. Tulisan di bawah ini menarik untuk disimak, selamat membaca.
Perjalanan Kita Masih Jauh
Oleh : Dimas Budi Prasetyo
Penulis, Conten Creator
DISCLAIMER: Ini tulisan yang cukup panjang. Fans berat Timnas yang nggak hobi baca, apalagi yang fanatik berlebihan saya saranin jangan baca, jantungen sampeyan nanti.
Nonton pertandingan Timnas Indonesia vs Jepang kemarin? Bagaimana kesimpulan kalian? Bagi saya sudah jelas, kita masih tertinggal cukup jauh. Wajar, kualitas kita masih di bawah Jepang.
Jadi, itu bukan kesalahan pemain dan jajaran pelatih Timnas. Jika kalian kecewa, ya itu kesalahan kalian, karena punya ekspetasi terlalu tinggi.
Tidak dipungkiri memang, kualitas Timnas jauh membaik sejak ada pemain-pemain keturunan dan naturalisasi. Dan sebagai pencinta bola, tentu saya senang sekali Timnas sekarang lebih jago. ASEAN sekarang sudah nggak level ceunah.
Tapi, di balik itu semua saya ingin memberi sorotan dan beberapa pertanyaan.
Apakah kita akan seterusnya pakai cara seperti ini agar Timnas kita jago?
Apakah kemudian kita bisa konsisten melakukannya?
Apakah nanti jika ketua PSSI bukan lagi Erick Tohir yang jago lobi dan punya koneksi internasional itu, program mengambil pemain keturunan dan naturalisasi bisa jalan terus?
Saya nggak anti program naturalisasi, sekali lagi saya tegasin, nggak anti. Tetapi, jika kita membicarakan soal sepak bola, itu nggak cuma soal menang dan kalah. Sepak bola itu proses panjang. Sangat panjang.
Pemain sepak bola bisa sangat jago, itu prosesnya panjang sekali. Sejak usia belia sekali, mereka sudah digembleng dengan sangat baik agar jadi pemain profesional.
Silakan baca referensi sejak usia berapa Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo mulai latihan bola. Baca juga gimana Ronaldo yang benar-benar menjaga tubuhnya dengan berlatih sangat keras, bahkan sangat memilih makanan yang masuk tubuhnya demi dapat nutrisi terbaik.
Kemudian bandingkan semua itu dengan para pesepakbola negeri kita. Boro-boro bicara soal main bagus dan ngomongin soal kompetisi yang sehat, soal jaga diri biar jadi atlet profesional saja, mayoritas pemain kita masih belum mampu.
Lantas apa hubungannya sama pemain keturunan dan naturalisasi?
Pemain keturunan atau naturalisasi dipilih—mayoritas dari Belanda—karena mereka sejak kecil memang sudah disiapkan jadi atlet profesional. Iklim kompetisi sejak dini di Belanda itu ada dan jelas jelas terstruktur.
Tetapi sayang, pemain naturalisasi ini tidak mampu bersaing menembus timnas Belanda level senior. Akhirnya, pilihan membela Timnas Indonesia adalah solusi realistis mereka bisa merasakan panggilan negara.
Statement saya ini pasti bikin fans Timnas ngamuk-ngamuk. But wait, mari coba kita telaah. Siapa pemain naturalisasi yang paling jago dan masuk grade A istilahnya? Belum ada.
Bang Jay? Mees Hilgers? Atau yang terbaru Kevin Diks? Di Eropa, mereka hanya bermain di klub semenjana. Grade mereka masih kelas C. Yang mana akhirnya mereka bukan main di liga papan atas Eropa. Hanya satu nama yang main di liga papan atas Eropa (Inggris, Italia, Spanyol, Prancis, Jerman), Bang Jay, itupun klubnya Venezia, pupuk bawang di Serie A.
Ingat, liga Belanda menurut koefiesiensi UEFA berada di urutan 6 yang artinya, mereka dianggap kelas B. Mereka bukan seperti 5 liga teratas yang saya sebutkan sebelumnya.
Pun pemain Timnas keturunan atau naturalisasi kita belum ada yang pernah main di klub kelas atas macam Real Madrid, Barcelona, Juventus, AC Milan, Inter Milan, Man City, Liverpool, atau Man United. Eh, tapi MU sekarang klub medioker sih wkwk
Artinya apa? Artinya, kualitas mereka di sana itu biasa-biasa saja. Itulah kenapa panggilan Timnas Belanda itu tidak realistis buat mereka.
Contoh sederhana saja, si kakak beradik kandung Tijjani dan Eliano Reijnders. Si kakak Tijjani saat ini main di AC Milan, klub legendaris nggak cuma Italia, tetapi dunia. Ya jelas dengan kualitas itu, dia dipanggil Timnas Belanda dan jadi pemain andalan di klub dan Timnas.
Adiknya? Dia nggak sejago sang kakak. Yang membuat peluangnya masuk Timnas Belanda sangat tipis dan akhirnya, tahu sendiri. Dia sudah membuat debut bersama Timnas Indonesia saat lawan Bahrain kemarin.
Apakah kemudian salah mereka, jika milih jadi pemain Timnas kita? Nggak dong, itu hak mereka. Mereka memenuhi kriteria, mereka punya darah Indonesia juga. Tapi balik lagi, apa kita mau terus-terusan pakai cara ini?
Kalau mereka masuk usia pensiun, gimana? Naturalisasi dan mengambil pemain keturunan lagi? Terus untuk apa ada kompetisi sepak bola di tanah air, kalau bukan untuk menghasilkan produk pemain Timnas Indonesia?
Memang kita tidak mau, sembari melakukan program naturalisasi atau nyomot pemain keturunan, kita juga mulai memikirkan dan memulai pembinaan sistem jangka panjang kayak Jepang, misalnya? Fyi, Jepang dulu itu sepak bolanya medioker sekali. Sama kita saja dibuat bulan-bulanan. Sama Malaysia juga diganyang terus.
Terus kenapa mereka sekarang bisa jago sekali? Ya karena mereka komitmen membangun sepak bola secara berjenjang. Road map-nya jelas. Saya baca-baca, rencana jangka panjang sepak bola Jepang itu, target utama nantinya adalah bisa juara Piala Dunia tahun 2050!
Sejak kapan mereka mencanangkan itu? Awal tahun 1990-an! Bayangin, benar-benar jauh hari mereka menyiapkannya. Kemudian dalam rangka itu, mereka membuat kompetisi J-League atau Liga Jepang tahun 1992 yang dikelola lebih profesional.
Mereka punya target rutin masuk Piala Dunia selepas tahun 2000-an. Tahu kemudian target mereka itu terealisasi mulai tahun berapa? Tahun 1998! Lebih cepat dari target, mereka bisa rutin masuk Piala Dunia sejak tahun itu dan tidak pernah absen sampai sekarang.
Makin lama pun mereka makin unjuk gigi. Di Piala Dunia terakhir, sekelas Jerman dan Spanyol saja takluk sama mereka! Jerman dan Spanyol, woi! Juara Dunia dan juara Eropa!
Yang dulu dibabat habis oleh kita, sekarang langganan Piala Dunia dan pemainnya laris manis di Eropa. Tidak hanya jadi pemain di klub kelas dua, mereka main di klub-klub besar dan bukan hanya jadi cameo atau pelengkap.
Pencinta sepak bola pasti kenal dengan nama-nama Hidetoshi Nakata, Shunsuke Nakamura, Shinji Kagawa, Keisuke Honda, Shinji Okazaki. Mereka para legenda yang pernah main di klub besar atau pernah juara di liga papan atas Eropa.
Kalau zaman now, ada nama-nama seperti Kaoru Mitoma, Takumi Minamino, Wataru Endo, Takefusa Kubo. Ini nama-nama yang ngobok-ngobok Timnas kita kemarin.
Dan pemain-pemain itu adalah produk pembinaan usia dini sepak bola Jepang yang berjenjang. Mereka dulu adalah anak-anak yang dididik oleh sistem sepak bola di Jepang, tetapi kemudian saat remaja dan dewasa mainnya di Eropa. Tetapi, timnasnya ya tentu saja Jepang.
Beda dengan Timnas kita zaman now. Pemain lahirnya di Belanda, kemudian dididik di dan mainnya di Belanda, kemudian main di Timnas Indonesia bermodal punya keturunan dan darah Indonesia.
Salah? Tidak, sama sekali tidak. Saya tegasin sekali lagi, saya tidak anti naturalisasi atau pemain keturunan. Tetapi dengan ini kemudian saya memahami, bangsa kita itu memang sukanya sama yang instan-instan dan tidak mau berproses panjang.
Mau main di Piala Dunia, naturalisasi. Mau jadi pegawai berseragam, nyogok sana-sini. Pengen jadi kaya, main judi atau korupsi. Mau jadi pejabat, ubah aturan dan bansosnya dibagi-bagi.*