Connect with us

Hukum

Perlunya Lembaga Eksaminasi untuk Kontrol Hakim

Diskusi Pentingnya Lembaga Eksaminasi/Fie

GlobalReview-Jakarta-  Karut matut peradilan serta hakim yang terlibat kasus suap atau pidana lainnya menjadi perhatian serius. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Zainal Arifin Hoesein, menyebut untuk menghadapi hal tersebut diperlukan lembaga eksaminasi nasional yang didirikan negara. Lembaga ini diharapkan bisa menjadi salah satu upaya untuk mengontrol hakim.

Zainal menegaskan perlunya meningkatkan kontrol terhadap hakim karena terus terjadi kasus hakim yang terlibat urusan jual beli. Menurutnya, praktik tersebut membuat lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung (MA) dalam titik nadir. Adapun kasus teranyar adalah hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh serta pegawai MA diduga menerima suap penanganan masalah.

“Lembaga kekuasaan kehakiman justru dalam titik nadir. Artinya, sudah jauh dari prinsip-prinsip yang dibangun dan disepakati oleh Mahkamah Agung sedunia,” ujar Zainal  dqlam webinar bertajuk “Pembenahan Lembaga Peradilan Sebuah Solusi di Tengah Ketidakpastian Penegakan Hukum di Indonesia” di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ia mensinyalir, hakim agung terlibat jual-beli perkara tersebut karena tidak ada gap dengan staf atau sumber daya manusia (SDM) di luar hakim. Pasalnya, permainan perkara tersebut berawal dari bujukan pihak luar kepada staf MA dan hakim agung. “Ini kan dari staf, kemudian membujuk-bujuk di atasnya, kemudian hakimnya dibujuk juga,” paparmya.

Hakim yang ibaratnya sudah tidak lagi memikirkan hal-hal duniawi, ternyata masih juga tergoda. Karena itu, independensi hakim dan lembaganya, dalam hal ini MA harus ditata ulang. “Saya pernah dalam FGD di Mahkamah Agung mengatakan, MA ini lembaga yang independen, tetapi organisasi dan keuangannya masih di bawah ketiak pemerintah,” terangnya.

Bahkan, lanjut Zainal, anggaran MA ini diatur oleh menteri keuangan (Menkeu) dan dirjennya. “Mengapa tidak punya anggaran tersendiri dan dikelola sendiri sebagai lembaga independen, seperti idealnya dahulu KPK sebelum pegawainya menjadi ASN. Nanti kontrol terhadap organisasi dan perilaku organisasi ini yang harus kuat,” katanya.

Pertanyaannya, lanjut Zainal, mengapa hakim maupun hakim agung bisa bias prilakunya, yakni karena masih terbuai bujuk rayu serta tidak kuatnya kontrol, baik dari internal maupun eksternal MA. “Oleh karena itu, lembaga independen ini harus dikontrol. Saya meyakini semua kekuasaan jika kontrolnya lemah, terutama moral dan hukum, itu pasti salah guna,” tandasnya.

Atas dasar itu, kontrol internal dan eksternal MA harus diperkuat sehingga independensi, imparsialitas, integritas, dan kompetensi hakim agung tetap terjaga. “Semua itu ada pada hakim dengan ukuran-ukuran kode etik yang ada,” ucapnya. Pembina Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) ini lebih lanjut menyampaikan, ada banyak kontrol yang bisa dilakukan, salah satunya melalui putusan hakim.

Kontrol tersebut dapat dilakukan dengan mengkaji pertimbangan hakim, yakni untuk mengetahui apakah pertimbangannya berdasarkan pada fakta hasil pemeriksaan, nilai idealisme, dan kemampuan intelektualitas hakim ketika menganalisis berbagai prosfektif peristiwa-peritiwa atau sengketa yang ada. “Apakah putusan ini ditengarai satu rekayasa atau benar-benar bermuara, bersumber dari hukum yang benar, adil, hukum yang sepatutnya diputuskan seperti itu,” katanya.

Menurut Zainal, untuk mengontrol putusan hakim, salah satunya melalui suatu lembaga negara yang bertugas untuk mengeksaminasi putusan hakim yang memutuskan kontroversial di tengah masyarakat, terlepas itu karena terjadi suap atau bukan.*

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Hukum