Produksi Minyak Terbatas, Perketat Aturan Penggunaan BBM

Dialog Pembatasan BBM Subsidi

GlobalReview-Jakarta- Indonesia sejatinya bukan negara yang kaya akan minyak bumi. Karenanya penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi sangat penting. Menurut Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, saat ini sekitar 60-70% minyak Indonesia masih mengandalkan impor. Faktanya, di tengah menurunnya produksi energi berbasis minyak bumi, konsumsi nasional terus melonjak.

“Jadi salah besar informasi yang didengung-dengungkan bahwa Indonesia kaya minyak. Kita hanya punya 0,2% dari cadangan dunia,” ujar Sugeng dilansir dari Talk Highlight Elshinta bertema Pembatasan dan Budaya BBM Bersubsidi (1/11/2022).

Menurut Sugeng, saat ini produksi minyak nasional berkisar 2,8 miliar barel saja. Ironisnya, produksi terus menurun. Meskipun dalam APBN 2022 ditetapkan produksi lifting minyak sebesar 730 ribu barel per hari, faktanya rata-rata hanya mencapai 610 ribu barel per hari. “Sementara konsumsi terus naik, bahkan masuk 1,58 atau satu juta lima ratus delapan puluh ribu barel per hari, sehingga setiap hari kita mengimpor 900 ribu barel per hari. Itulah yang menjadi masalah utama, di samping sisi harga BBM dunia yang terus naik,” kata Sugeng.

Dengan permasalahan bahan bakar fosil yang terus menurun dan dianggap merusak lingkungan karena kandungan sulfur dan karbon yang tinggi, menjadi langkah awal Indonesia untuk mulai menjajaki dengan pengggunaan minyak terbaru dan lebih ramah lingkungan. “Energi fosil memang bermasalah, seperti energi minyak, batubara dan gas. Minyak terbatas gas lumayan cadangan 20 tahun, kalau minyak hanya 10-12 tahun cadangan kita,” kata Sugeng.

Saat ini, menurut Sugeng, sementara, terjadi akibat harga minyak dunia yang tinggi tidak mampu mengikuti harga dunia, karena itu diberikan subsidi. Hingga akhir Oktober, subsidi BBM sebesar 500 Triliun. Untuk November dan Desember perlu ditambahkan subsidi lagi, tapi di-carryover pada APBN 2023 sebesar 190 Triliun. “Itu masalah yang kita hadapi. BBM sudah menjadi masalah, maka kita masuk energi terbarukan dengan potensi kita yang besar,” ujarnya.

Hal yang hampir sama diutarakan oleh Pengamat Energi Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro. Menurutnya, kondisi Indonesia di tahun 80-90an berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Jika di tahun 80-90an produksi 1,6 juta barel per hari dengan konsumsi 700 ribu barel per hari setiap harinya. Kini produksi terbalik. Produksi minyak nasional di bawah 700 ribu barel/hari, dengan tingkat konsumsi 1,6 juta barel/hari.

Menurut Komaidi pemakaian energi baru terbarukan adalah suatu keniscayaan. “Harus berjalan paralel antara masih menggunakan energi fosil, namun juga bergerak ke energi baru terbarukan,” ujar Komaidi .

Komaidi menyarankan agar Komisi VII mendorong pemerintah untuk memberi insentif pada pengguna EBT. “Transportasi harus diperbaiki agar warga mau beralih menggunakan transportasi publik. Contoh Singapura, Inggris. Masyarakat di sana lebih memilih transportasi publik,” kata Komaidi.

Komaidi mengatakan, salah satu langkah penghematan BBM adalah dengan mengoptimalisasi serta membenahi transportasi publik, agar masyarakat mau beralih menggunakan transportasi umum. “Mengapa Singapura ketika BBM naik tinggi santai saja. Bukan karena pendapat kapitanya bagus, tapi, transportasi publiknya mapan, begitu juga Inggris. Kalau pindah ke transportasi publik bisa menghemat BBM,” ujar Komaidi .

Dari angkutan umum, Ketua Bidang Angkutan Penumpang Organda, Kurnia Lesani Adnan menyatakan, pertanyaan sudah dimulai sejak awal bertanya mengapa pemerintah mencarikan bahan bakar. Kalau sekedar dengan alasan menurunkan subsidi Rp500 triliun, maka kebijakan itu dapat menurunkan angka subsidi. “Kalau kita duduk di SPBU, yang menggunakan bahan bakar subsidi mobil SUV yang tidak pantas. Kalau kita angkutan umum yang teregistrasi 12 sampai 15 persen, kalau pemerintah konsisten subsidi, bikin aturan bahan bakar untuk angkutan umum,” kata Sani.*

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *