
GlobalReview-Jakarta – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA, yang rencananya akan dimulai pada tahun ajaran 2025/2026 ini.
Hal tersebut disampaikan Mendikdasmen Abdul Mu’ti pada silaturahmi dan halal bi halal dengan anggota Fortadik, Jumat (11/4/2025).
“Setelah sempat dihapus pada era Menteri Nadiem, kita akan hidupkan kembali. Kami menerima banyak masukan terkait ini,” kata Mendikdasmen.
Karena itu, kebijakan ini akan segera diformalkan melalui peraturan menteri. Aturan baru ini otomatis menggugurkan aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024.
Menurut Mu’ti, Permendikbudristek 12/2024 mengatur tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah yang diterbitkan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.
Baca juga: Kemendikdasmen Apresiasi Capaian Pemda Brebes Memajukan Kualitas Pendidikan
Adapun peniadaan jurusan tersebut menurut Nadiem saat itu berkaitan dengan Kurikulum Merdeka. Peniadaan jurusan di SMA sendiri sebenarnya sudah diterapkan secara bertahap sejak 2021. “Pada tahun ajaran 2022, sudah sekitar 50 persen satuan pendidikan menerapkan Kurikulum Merdeka. Pada tahun ajaran 2024, tingkat penerapan Kurikulum Merdeka sudah mencapai 90-95 persen untuk SD, SMP, dan SMA/SMK,” ucapnya.
Dukungan PGRI dan Praktisi Pendidikan
Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, mengatakan bahwa apabila para siswa tidak memiliki ilmu pengetahuan yang baik, maka tidak dapat memiliki peminatan khusus untuk mendalami ilmu tersebut. “Harapannya agar siswa menguasai semua ilmu itu dengan baik, tapi jika tidak siap yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya mendapatkan sedikit. Jadi dengan adanya penjurusan IPA, IPS dan Bahasa itu bagus agar siswa bisa mempelajari ilmu sesuai dengan minatnya dan menjadi ahli,” ujar Unifah.
Baca juga: BNI Salurkan Rp14,3 Triliun KUR ke Sektor Pangan, Dorong Swasembada dan Ketahanan Pangan Nasional
Sementara itu, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Heriyanto, Praktisi Pendidikan, mengungkapkan bahwa saat penghapusan penjurusan SMA di lapangan tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik. “Terlalu dini di kelas XI awal, siswa harus menetapkan profesinya apa kelak. Sehingga ada beberapa mata pelajaran yang perlu diambil dan dilepaskan, padahal itu adalah mata pelajaran dasar yang sangat diperlukan,” ungkap Heri.
“Dengan contoh, jika siswa yang memilih kedokteran dapat melepaskan fisika, dan konsentrasi pada biologi dan kimia. Namun persoalan yang sering muncul adalah ketika pilihan profesi siswa bisa saja berubah di kelas XII menjadi teknik, sedangkan dalam 2 atau 3 semester sebelumnya, mereka tidak mempelajari fisika,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa belum adanya sinkronisasi antara pendidikan SMA dengan perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN), pada tahun pertama mahasiswa baru harus lulus dalam perkuliahan bersama untuk mata pelajaran fisika, kimia, dan biologi walaupun jurusannya bukan teknik.
“Sehingga mata pelajaran tersebut, tetap diajarkan sebagai bekal di PTN nantinya, termasuk untuk pilihan IPS. Karena apabila siswa yang memiliki cita-cita menjadi akuntan dapat melepaskan geografi atau sosiologinya. Namun apabila berubah menjadi ahli hukum diberikan syarat kedua pelajaran tersebut akan dipelajari saat di perguruan tinggi,” pungkas Heri.
Baca juga: Badan Bahasa: Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia Semakin Diminati Masyarakat Luas
Sisi Positif Penjurusan
Aktivis Pendidikan dari Taman Siswa Ki Darmaningtyas mengatakan penjurusan IPA/IPS/Bahasa memiliki sisi positif yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penjurusan. Pertama, penjurusan tampak lebih tegas dalam proses pembelajaran antara IPA, IPS, dan Bahasa, sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
“Hal ini amat membantu membekali murid yang akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Mereka yang akan melanjutkan ke prodi teknik misalnya, akan memperkuat mata pelajaran fisika dan matematika. Mereka yang akan melanjutkan ke farmasi dan kedokteran akan memperkuat mata pelajaran biologi dan kimia, dan seterusnya,” kata dia.
Menurutnya, murid juga lebih mudah memilih sesuai dengan kemampuan dan bakat, sehingga belajarnya juga lebih fokus sesuai minatnya. Mereka yang akan melanjutkan kuliah di bidang sain dan teknologi tentu akan memilih jurusan IPA. Sedangkan mereka yang akan melanjutkan ke sastra, sejak awal akan memilih jurusan Bahasa. Pilihan-pilihan ini juga akan sangat membantu memilih fakultas yang akan dimasuki saat mendaftar di perguruan tinggi.
Selanjutnya, tata kelolanya jauh lebih mudah, pihak sekolah jauh lebih mudah mengatur jadwal pembelajaran karena kebutuhan guru untuk masing-masing mata pelajaran dalam satu kelas sudah diketahui secara pasti, sehingga ketika jumlah gurunya tidak mencukupi, kekurangannya dapat diprediksi secara pasti. Bagi pemerintah sendiri, jauh lebih mudah memprediksikan kebutuhan guru SMA untuk masing-masing mata pelajaran.
“Kebutuhan infrastruktur fisiknya juga dapat diketahui secara pasti, berapa ruang yang dibutuhkan untuk jurusan IPA, IPS, dan Bahasa; berapa kebutuhan ruang laboratorium untuk IPA, IPS, dan Bahasa juga dapat direncanakan secara pasti,” tegasnya.
Sementara, sisi negatif dari penjurusan hanya pada aspek sosiologis saja, yaitu adanya persepsi yang salah bahwa jurusan IPA adalah jurusan yang paling top. “Padahal tidak demikian. Ditengah berkembangnya profesi baru yang memberikan imbalan tinggi dan justru itu banyak didominasi oleh mereka yang berlatar belakang sosial humaniora, persepsi negatif itu lama-lama akan terkikis juga,” ujarnya.
Berdasarkan catatan plus-minus penjurusan dan tanpa penjurusan tersebut, maka jelas sekali bahwa kembali ke penjurusan di SMA seperti masa lalu itu merupakan kebijakan yang paling realistis, di tengah keterbatasan jumlah guru ASN. *
