Connect with us

Opini

Si Pandir dan Si Pintar

Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute/Foto: Istimewa

GlobalReview-Jakarta-Saat ini kita mahfum bahwa disana sini, di negeri kita, mungkin juga di lain negeri, sedang ada perdebatan yang tak berujung, pro kontra atas sesuatu hal, di mana satu dan yang lain merasa paling benar, berdebat untuk melegalisasi pendapatnya. Menarik disimak tulisan dibawah ini, bahwa dalam hidup ini ada perdebatan yang tidak perlu dimenangkan.

Selamat membaca, semoga bermanfaat…

Si Pandir dan Si Pintar
Hasyim Arsal Alhabsi*

DI SEBUAH desa kecil yang damai, hiduplah dua orang dengan sifat yang sangat berbeda: Si Pandir, yang terkenal keras kepala dan gemar membela kesalahan, serta Si Pintar, yang selalu ingin mencari kebenaran dengan logika dan ilmu. Suatu hari, Si Pandir menantang Si Pintar dalam sebuah perdebatan.

“Hei, Pintar! Aku ingin tahu apakah kau bisa menjawab pertanyaanku,” kata Si Pandir dengan penuh keyakinan.

Si Pintar tersenyum dan menjawab, “Silakan, apa pertanyaanmu?”

Si Pandir pun bertanya, “Berapakah hasil dari 9 × 9?”

Si Pintar menjawab dengan tenang, “81.”

Namun, Si Pandir langsung menggeleng dan berkata, “Salah! Jawabannya adalah 90.”

Si Pintar tertawa kecil, mengira Si Pandir hanya bercanda. “Tidak, tidak. 9 × 9 adalah 81, bukan 90. Aku bisa menjelaskannya jika kau mau.”

Namun, Si Pandir bersikeras. “Pokoknya 90! Aku berani bertaruh. Jika aku salah, aku siap dibunuh. Tapi jika kau yang salah, kau harus menerima hukuman cambuk dariku.”

Si Pintar merasa tertantang. Ia yakin bahwa dirinya benar, dan ia ingin membuktikan bahwa logika dan ilmu harus menang atas kebodohan. Maka, ia berkata, “Baiklah, mari kita temui guru untuk menyelesaikan ini.”

Mereka berdua pergi menemui guru mereka, seorang lelaki tua yang dihormati karena kebijaksanaannya. Si Pandir dengan bersemangat menceritakan perdebatan mereka, sementara Si Pintar menunggu dengan yakin bahwa kebenaran akan berpihak padanya.

Sang guru mendengarkan dengan seksama, lalu masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata apa pun. Ketika ia keluar, ia membawa cambuk. Tanpa ragu, ia langsung mencambuk Si Pintar.

Si Pintar terkejut. “Mengapa aku yang dicambuk, Guru? Bukankah aku yang benar?”

Si Pandir tertawa puas, merasa dirinya telah menang.

Sang guru kemudian berkata dengan tenang, “Anakku, kamu memang benar. Namun, kamu memilih untuk berdebat dengan orang yang tidak mau menerima kebenaran. Itu membuatmu lebih bodoh darinya. Karena itu, cambukan ini adalah pelajaran agar kau tidak mengulangi kesalahan yang sama.”

Si Pintar terdiam, menyadari makna dari hukuman tersebut. Sang guru melanjutkan, “Ketika seseorang menolak kebenaran bukan karena tidak tahu, tetapi karena ia tidak mau tahu, maka berdebat dengannya adalah sia-sia. Bukan karena kebenaran itu lemah, tetapi karena kebodohan yang disengaja tidak bisa dikalahkan dengan logika.”

Si Pandir masih tertawa, merasa menang. Namun, sang guru menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Dan kau, Pandir, jangan terlalu senang. Kebenaran tidak berubah hanya karena kau menolaknya. Ketika suatu hari dunia menamparmu dengan kenyataan, kau akan menyadari kebodohanmu sendiri.”

Si Pandir terdiam. Tawanya perlahan memudar, karena dalam hatinya, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara berpikirnya. Namun, ia terlalu sombong untuk mengakuinya.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa dalam hidup, ada perdebatan yang tidak perlu dimenangkan, karena kemenangan sejati bukanlah membuktikan kebenaran kepada mereka yang menolak melihatnya, tetapi mengetahui kapan harus berhenti berdebat dan melangkah maju dan mengenali kebijaksanaan. Bijaksana itu tidak selalu harus menang, tapi bijaksana pasti menenangkan.(.)

*Direktur Dehills Institute

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Opini