GlobalReview-Jakarta – Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen), Iwan Syahril, meyambangi SMP Negeri 1 Cimalaka, saat melakukan kunjungan ke Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (8/8). Menurut Iwan Syahril, kunjungan tersebut dilakukan agar dapat bertemu langsung dengan aktor-aktor pendidikan yang memiliki keberpihakan kepada murid, berdedikasi, dan komitmen dalam mendorong terciptanya pembelajaran berkualitas melalui gerakan Merdeka Belajar.
Aktor-aktor pendidikan daerah yang telah mendorong tren peningkatan positif dalam pendidikan sehingga membuat Kabupaten Sumedang mendapatkan Anugerah Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
SMP Negeri 1 Cimalaka yang menjadi lokasi kunjungan Dirjen PAUD Dikdasmen sudah memasuki tahun ketiga mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. SMP ini dipandang sebagai salah satu sekolah dengan pemimpin (kepala sekolah) yang mampu memberikan inspirasi dan menggerakkan ekosistem sekolahnya.
Sekolah dengan moto “Saci Kuat” ini menerapkan manajemen filosofi Masagi dalam ekosistem pembelajarannya.
Dalam bahasa Sunda, filosofi Masagi dimaknai dengan siap akan segala hal, termasuk siap untuk mengarungi kerasnya kehidupan. Filosofi adalah semangat agar ekosistem sekolah dapat beradaptasi cepat dan mampu bertransformasi sesuai dengan kondisi zaman. Selain itu, filosofi Masagi ini juga merupakan akronim dari Manajemen Sekolah Bermutu Tinggi.
Baca juga: Kredit Pintar Dukung Pendidikan, Revitalisasi Bangunan Sekolah PAUDQu Al-Fattah, Yogyakarta
Dalam dialog dengan Dirjen PAUD Dikdasmen, Kepala Sekolah SMP negeri 1 Cimalaka, Enung Titin Agustikawati, yang merupakan sosok inspiratif pembawa perubahan di sekolah tersebut mengatakan bahwa beberapa tahun belakangan, sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka, terjadi perubahan drastis dalam proses pembelajaran sekolahnya.
Ia mengungkapkan, Kurikulum Merdeka telah membangun kesadaran untuk lebih mengarahkan praktik pembelajaran berpusat pada murid, dan hal ini sangat berbeda dari kebijakan kurikulum sebelumnya. Enung yang sudah belasan tahun menjadi kepala sekolah dan dua tahun lagi memasuki masa pensiun mengungkapkan bahwa sebelum penerapan Kurikulum Merdeka banyak guru belum menyadari bahwa potensi setiap anak itu berbeda-beda.
“Dulu, saya sendiri menganggap anak itu sama, sehingga cara menilainya juga harus sama. Tapi sekarang dengan Kurikulum Merdeka, pembelajaran dikembalikan pada filosofi Ki Hadjar Dewantara, bahwa setiap makhluk ciptaan tuhan itu tidak ada yang sama satu pun. Meskipun kembar identik, akan ada perbedaan, sehingga bagi saya sendiri ketika menghadapi anak sekarang melihat dulu perbedaan (diferensiasi),” kata Enung yang pernah berturut-turut sejak 2019 sampai 2021 menjadi Finalis Kepala Sekolah Berprestasi Tingkat Nasional itu.
Enung pun menganggap, bahwa seorang guru tidak perlu merasa repot untuk melihat dan memperhatikan keberbedaan masing-masing murid, karena pada dasarnya esensi menjadi guru salah satunya harus bisa melihat potensi dari murid per murid. “Bagi saya selaku kepala sekolah, melihat keberbedaan ini tidak hanya sampai pada murid, tapi juga guru-guru. Di sekolah, saya harus paham potensi masing-masing guru, apa kelebihan masing-masing guru,” kata Enung bercerita.
Ia mengungkapkan, jika ada seorang guru yang mempunyai potensi lebih di luar dasar keilmuan dia sebagai guru, itu harus dimaksimalkan dan diapresiasi kelebihan tersebut. Enung pun mencontohkan bagaimana ia melihat potensi salah satu gurunya, mendorong guru tersebut untuk berkreasi, kemudian menjadikan kreasi tersebut sebagai ruang untuk memacu guru-guru lain untuk turut berkreasi. “Misalkan Astri (salah satu guru–red.) potensi lebihnya apa? Dia sarjana, sudah S2 di Bahasa Inggris, tapi dia juga kemampuan di bidang lain yaitu seni suara. Lalu saya tugaskan menciptakan Mars Saci Kuat, dan itu terbukti, padahal dia guru Bahasa Inggris. Karena saya senang berkompetisi, saya menularkan ke teman-teman saya, ketika Astri sudah menciptakan mars, dan teman lain menciptakan himne, itu kemudian saya lombakan seluruh guru untuk lomba mars dan hymne Saci,” cerita Enung.
Baca juga: Kemendikbud : PAUD Bukan Tekankan Calistung
“Sehingga saya bisa melihat, oh, ini guru punya potensi dalam bidang tarik suara, meskipun mereka tidak kuliah di bidang seni. Untuk IT juga saya lombakan, lomba membuat video dengan tema Aku dan Saci Kuat. Sehingga saya tahu potensi guru-guru itu,” lanjutnya.
Menaklukkan Tantangan Kurikulum Merdeka
SMP Negeri 1 Cimalaka mulai mengimplementasikan Kurikulum Merdeka sejak tahun 2022 dan tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh Enung selaku kepala sekolah. Ia berkisah, sekolah tersebut mendaftar untuk implementasi Kurikulum Merdeka sudah last minute, dan mendapatkan rekomendasi hasil menerapkan Mandiri Berubah. “Ini karena kekurangan informasi yang saya dapatkan sewaktu mendaftar. Saya juga belum sempat ngobrol dengan para guru. Tapi saya meyakinkan diri untuk mencoba (mendaftar Kurikulum Merdeka), saya mencoba karena memang harus mencoba, dan suka dengan mencoba sesuatu yang baru. Saya merasa kita tidak boleh ketinggalan dan saya yakin dengan memiliki teman-teman guru yang berdedikasi tinggi dan saya sudah tahu potensi mereka dan saya merasa kami akan bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka,” terang Enung.
Ia pun mengisahkan bahwa saya selama menjadi kepala sekolah memang ada strategi manajerial khusus yang diterapkan, melalui filosofi Tabarat: Tumbuhkan, alami, biasakan, rasakan, dan tingkatkan. Dimanapun ia berada, filosofi ini terus dibawa. “Jadi tumbuhkan dulu dan rasakan dengan cara seni saya punya prinsip memimpin dengan hati, dari hati ke hati, dengan hati-hati, supaya bisa sehati, dan itu yang saya lakukan,” katanya.
Tidak hanya tantangan kekurangan informasi saat mendaftar Kurikulum Merdeka, tantangan lain pun kemudian dihadapi saat akan mengimplementasikan kurikulum tersebut, terutama mengubah pola pikir guru untuk melakukan transformasi pembelajaran. Hal ini menurut Enung, karena sebagian besar guru sudah berada di zona nyaman, terlebih untuk guru senior secara usia.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Pendidikan PAUD dan PNF dengan Transformasi Akreditasi
Enung pun kemudian mencoba berbagai cara bagaimana agar Kurikulum Merdeka dapat terimplementasikan dengan baik dan dirasakan hasilnya oleh murid. Termasuk supaya seluruh guru di sekolahnya paham mulai dari filosofi dan penerapan kurikulum tersebut. Sehingga ketika murid kelas VII pertama kali mulai mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, ia merasa harus menempatkan tempatkan guru-guru muda dengan kemampuan yang dirasa cocok di kelas itu. Ketika murid kelas VII naik ke kelas VIII, ia menyertakan gurunya, karena di Fase tersebut ia merasa guru tersebut paling tahu capaian pembelajarannya akan seperti apa.
“Jadi guru ngikutin muridnya. Pengajar kelas VII naik ke kelas VIII, dan kelas VIII turun ke kelas VII. Sekarang guru-guru kelas IX yang notabene usia lebih senior diturunkan. Dulu ada anggapan guru senior harus di kelas lebih tinggi, kami mengubah cara pandang itu, kami turunkan guru senor ke kelas VII. Ini supaya semua guru paham dengan Kurikulum Merdeka,” tegas Enung.
Alhasil, dengan filosofi manajerial yang terus dibawanya, Enung merasa sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka ekosistem sekolahnya bergerak lebih baik. Berbagai gebrakan pun dihadirkan Enung bersama dengan guru-guru di SMP Negeri 1 Cimalaka, salah satunya melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), dengan memanfaatkan potensi daerah Cimalaka.
“Kami menggarap P5 dengan membuat batik khas Sumedang dengan mendatangkan langsung pengusaha ke sekolah. Murid melakukan praktik pembuatan motif baik sampai membuat batik. Pengusaha pun suka dan memakai motif batik yang dibuat oleh murid,” terang Enung.
Baca juga: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, Luruskan Miskonsepsi Soal Calistung
Selain itu, ia dan guru-guru juga mengajak murid belajar usaha tahu sumedang, dari hulu ke hilir berkolaborasi dengan pengusaha tahu setempat. Mulai dari proses pembuatan dan proses pemasaran kami ajak anak-anak sehingga pikiran mereka terbuka dalam berwirausaha sesuai dengan kearifan lokal daerah. “Melalui P5, kami juga mengajak petani ke sekolah, anak-anak diajarkan bertani mulai dari menanam sampai memanen,” lanjut Enung.
Di SMP Negeri 1 Cimalaka mural-mural bertebaran di seluruh dinding sekolah. Enung pun mendorong anak-anak berekspresi melalui gambar-gambar mural yang bermakna dan tidak hanya corat-coret serampangan. Berbagai kegiatan kesenian pun digelar dan diperlombakan antar kelas termasuk mural tersebut. Menurut Enung, sekolah dan pembelajaran memang harus jadi ruang membahagiakan bagi murid, dan itulah esensi dari sekolah yang dicita-citakan.*