GlobalReview– Yogyakarta – Kepala Sekolah SD Negeri Pojokusuman 1 Yogyakarta, Dwi Atmi Sutarini, menyampaikan bahwa sekolahnya telah mengimplementasikan berbagai program Kemendikdasmen, termasuk Pembelajaran Mendalam, Matematika Gembira, serta Coding dan AI.
Praktik pembelajaran “Matematika Gembira” yang diperkenalkan melalui program Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mulai menunjukkan dampak nyata di sekolah-sekolah. Salah satunya di SDN Pojokusuman 1 Yogyakarta, di mana guru kelas menerapkan metode kontekstual, bermain, dan aktivitas luar ruang sebagai bagian dari perubahan pemahaman dasar mengajar matematika.
Praktik guru-guru SDN Pojokusuman 1 menunjukkan bahwa reformasi metode pembelajaran matematika memiliki dampak langsung pada motivasi dan partisipasi siswa. Pendekatan yang selaras dengan kebijakan Kemendikdasmen ini diharapkan dapat diperluas dan diperkuat dengan pelatihan lanjutan, termasuk bagi guru umum yang menangani anak berkebutuhan khusus (ABK)
Sekolah ini juga aktif sebagai sekolah inklusi, dengan 47 siswa berkebutuhan khusus yang telah melalui asesmen profesional. Selain dukungan GPK dari Pemkot, sekolah menyediakan asesmen psikologis berkala dan menerapkan Program Pembelajaran Individual (PPI).
“Kami ingin memastikan semua anak terlayani, semua merasa difasilitasi, dan semua guru menerapkan pendekatan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa,” ucap Rini sapaan akrab Kepala Sekolah SDN Pojokusuman 1 disela-sela kegiatan Press Tour Kemendikdasmen di Yogyakarta, Kamis (20/11/25).
Matematika Gembira Hapus Stigma Menakutkan
Guru kelas 4, Ida Sekar Molina, menuturkan bahwa pendekatan baru ini menghapus stigma matematika sebagai pelajaran yang menakutkan. “Metodenya membuat siswa menangkap materi lebih mudah. Mereka tidak lagi melihat matematika sebagai momok, tapi sebagai permainan yang seru,” ujar Ida.
Ida mengungkapkan, kelasnya dipenuhi siswa dengan gaya belajar kinestetik. Karena itu, ia mengadaptasi metode mengajar berorientasi aktivitas–mulai dari permainan dengan bola, penggunaan biji kacang merah, hingga platform digital seperti pattern games.
“Dengan bermain, bergerak, dan menemukan pola sendiri, anak-anak menyerap materi lebih cepat. Responnya positif; bahkan mereka sering bertanya kapan jadwal matematika berikutnya,” katanya.
Baca juga: Wamendikdasmen Fajar : Revitalisasi Sekolah Perkuat Mutu Pendidikan dan Gerakkan Ekonomi Lokal
Matematika di kelas 4D diajarkan tiga kali seminggu, dan menurut Ida, format belajar berpasangan dan kelompok kecil lebih efektif untuk membangun komunikasi, pemahaman, dan kemampuan memecahkan masalah.
Tidak hanya matematika, metode serupa mulai diterapkan pada pelajaran lain, seperti pembuatan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) bertema rambu lalu lintas. “Siswa belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga melakukan penelusuran langsung di lingkungan sekolah,” ujar Ida.
Pendekatan serupa juga dirasakan Muhammad Arief, guru kelas 1B yang mengikuti pelatihan Matematika Gembira IN-1 dan IN-2 pada Oktober 2025. Pelatihan tersebut mematahkan miskonsepsi bahwa guru harus mengajarkan konsep sebelum pengalaman konkret. “Selama ini anak takut duluan karena dipaksa memahami konsep. Di metode baru, justru konsekuen dulu, baru konsep. Anak jadi senang dan tidak cemas,” jelasnya.
Dengan karakter anak kelas 1 yang masih berada pada fase 60 persen bermain dan 40 persen belajar, Arief memulai pembelajaran dari aktivitas luar kelas—mengamati benda sebagai bentuk geometri, mengukur, atau mencari objek untuk operasi hitung. “Sekitar 75 persen pembelajaran saya lakukan di luar kelas. Setelah eksplorasi, mereka masuk untuk mempresentasikan hasil. Pembelajaran jadi hidup dan lebih dipahami,” katanya.
Baca juga: Bulan Guru, Kemendikdasmen Sampaikan Komitmen Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan Guru
Arief juga menerapkan pendekatan serupa di mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, hingga Seni Rupa, dengan pola eksplorasi lapangan, diskusi, hingga presentasi sederhana sesuai tahap perkembangan siswa.
Implementasi “Matematika Gembira” bukan sekadar perubahan metodologi, tetapi transformasi paradigma: dari mengajar konsep menjadi membangun pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna.*












