GlobalReview-Jakarta-Mungkin diantara kita banyak yang tidak menyadari, bahwa belakangan ini, dunia sebenarnya berada di ambang perang besar, bahkan bisa saja terjadi Perang Dunia III, yang dampaknya terhadap kehancuran dunia dan peradaban tidak bisa dibayangkan. Belakangan ini tanda-tanda itu sudah tergambar, jika terjadi perang antar negara menggunakan bom nuklir.
Baca juga:Yuk…Datangi Summarecon Golden Expo 2025 di Summaba, Banyak Diskon dan Hadiahnya
Peristiwa bom nuklir “Little Boy” dan “Fat Man” yang dijatuhkan di Hiroshima, 6 Agustus dan Nagasaki, 9 Agustus 1945 berkekuatan 15 kiloton telah menimbulkan korban lebih dari 140 ribu jiwa tewas, akibat ledakan, panas, radiasi dan hancurnya bangunan, serta ratusan ribu lainnya yang luka-luka dan cidera permanen. Ingatan yang tak hilang tak hanya oleh warga Jepang tapi juga warga dunia.
Saat ini bom nuklir yang dimiliki beberapa negara di dunia berkekuatan antara bukan lagi 15 kiloton tapi sudah mencapai 100-500 kiloton, sehingga tak terbayangkan kerusakan yang ditimbulkannya jika ini digunakan.
Baca juga:Generasi Muda Lirik Industri, Animo Pendaftar di Kampus Vokasi Kemenperin Naik 21 Persen
Dilansir dari keterangan Institut Peradaban, negara-negara yang memiliki bom nuklir berdasarkan data awal 2025 menyebutkan ada lebih dari 12 ribu hulu ledak nuklir, 10 ribu diantaranya dimiliki oleh AS dan Rusia, serta Cina, Prancis, Inggris dan India, Pakistan, Israel dan Korea Utara.
Bagaimana kalau diantara mereka terpicu meluncurkan bom nuklir dan lainnya, sebagai unjuk kekuatan, juga menggunakan bom yang berkekuatan sama atau lebih?.
Baca juga:Kemendikbudristek Beri Apresiasi Aksi Nyata Penggerak Peduli Literasi dan Numerasi
Indikasinya adalah perang Rusia-Ukraina (2022-kini); India-Pakistan (7-10 Mei 2025); uji coba rudal Korea Utara yang mampu membawa hulu ledak nuklir (Januari 2025), latihan militer besar-besaran Cina (Channel Thunder) dan AS (Talisman Saber), keduanya pada 2025 dan terakhir perang Iran-Israel (10-22 Juni 2025). Itu semua mencerminkan fenomena mengkhawatirkan, adanya keterlibatan langsung atau tidak langsung negara-negara pemilik senjata nuklir de jure maupun de facto.
Upaya pengawasan dan perlucutan senjata nuklir memang terus berjalan, namun lebih bersifat unilateral, bilateral dan regional, sementara pada tataran global seperti mandeg atau “jalan di tempat”. Geopolitik dunia pasca Perang Dunia II memang diwarnai dengan ayunan pendulum antara upaya teknologi nuklir untuk perang atau tujuan damai.
Masyarakat dunia menyadari bahwa teknologi nuklir memang “cannot be disinvented”. Di lain pihak, teknologi nuklir, apabila digunakan untuk tujuan damai, ternyata dapat memberikan manfaat signifikn. Saat ini, sekitar 30 negara mengoperasikan PLTN, dengan
lebih dari 400 yang beroperasi.
Baca juga:Nikmati Pesona Budaya Nusantara di Buffet Dinner Nusantara Cultural Night Warung Senggol Truntum
Secara global, energi nuklir menyediakan 9-10% listrik di dunia, AS sebagai produder terbesar dengan lebih 90 reaktor dan terus membangunnya; sedangkan kelistrikan Prancis menggunakan 70% tenaga nuklir. Bill Gates pernah menyatakan “Nuclear energy, in terms of an overall safety record, is better than other energy”.
Semua kecemasan dan kewaspadaan akibat nuklir diulas Institut Peradaban, lembaga kajian isu-isu strategis terkait peradaban yang didirikan Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Salim Said bersama sejumlah perwira tinggi TNI/Polri. Acara ini berlangsung, Senin, 6 Oktober 2025, di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Pembicara utamanya adalah Dian Wirengjurit, Mantan Duta Besar RI untuk Iran yang juga penulis buku tentang nuklir dan geopolitik, sedangkan para penanggap adalah Duta Besar Prof. DR. Makarim Wibisono, MA; Prof. (H.C) Jaya Suprana dan Laksdya. TNI. Purn. Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian, M.Sc.
Dalam kesempatan tersebut, Dian mengatakan forum strategis bertajuk “Perang Nuklir: Indikasi Awal Kiamat?” yang membahas ancaman nyata dari eskalasi konflik antarnegara pemilik senjata nuklir ini menjadi wadah refleksi global atas masa depan peradaban manusia di tengah bayang-bayang perang besar.
“Kegiatan ini bukan sekadar diskusi akademik semata, tetapi bisa jadi peringatan moral bagi umat manusia. Ketegangan Rusia-Ukraina, Iran-Israel, hingga India-Pakistan, menunjukkan bahwa perang nuklir bukan lagi fiksi.Kita ingin mengingatkan dunia, bahwa peradaban bisa runtuh bukan karena bencana alam, tapi karena keserakahan dan ego politik manusia,” kata Dian.
Baca juga:Rossi Apresiasi Pertamina: Dari Mandalika ke Dunia, Bawa Semangat Talenta Muda
Dian juga mengatakan dari kegiatan yang diselenggarakan Institut Peradaban adalah forum ini bisa menjadi ruang dialog antar generasi, baik bagi kalangan intelektual, akademisi, maupun praktisi kebijakan.
“Tujuannya, agar menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa ancaman perang nuklir bukan sekadar isu militer, melainkan persoalan peradaban dan kemanusiaan,” pungkas Dian.*