Pengamat Kritisi Wacana Pengambilan Paksa 51% Saham BCA

Bank Central Asia /Foto:: IST

GlobalReview-Jakarta – Peneliti Departemen Ekonomi Centre For Strategic and International Studies, Riandy Laksono menilai, wacana pengambilalihan paksa 51% saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) oleh negara, sebaiknya tidak dilakukan, karena tak relevan.

Baca Juga :Tingkatkan Literasi Keuangan Sejak Dini, BCA Digital Bentuk Kesiapan Generasi Muda Hadapi Tantangan Masa Depan dengan Program bluAmbassador

“Kalau semua bank dimiliki pemerintah, kompetisi yang sehat itu tidak akan terjadi. Saya paham, mungkin dorongan mengakuisisi ini datangnya supaya penerimaan negara bisa tinggi dengan cepat. Tapi dampaknya lebih ke persaingan usaha,” kata Riandy dikutip dari Katadata, Senin (18/8).

Baca Juga :blu by BCA, Solusi Finansial Gaya Hidup Generasi Milenial dan Gen Z

Dia mengatakan dengan kinerja Bank BCA dan pelayanan yang menurutnya bagus, hal ini mendorong bank-bank lain untuk berkompetisi. Persaingan ini menguntungkan konsumen dan pemerintah karena penerimaan perpajakan semakin meningkat.

Baca Juga :Mahasiswa Indonesia, Ayo Buruan, 16 Hari Lagi Pendaftaran BCA Business Case Competition 2025 Akan Berakhir

Sebelumnya wacana agar pemerintah mengambil alih paksa saham BBCA digaungkan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro. Ide itu kemudian disambut oleh Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri.

Ahmad menyebut partai di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar itu mendukung usulan agar BBCA segera diambil alih.

Wacana pengambilalihan saham BBCA oleh negara ini berkaitan dengan masa lalu Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada saat krisis 1998. Peristiwa itu bergulir hingga adanya pelepasan 51% saham oleh pemerintah yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri.

Menurut Riady, alih-alih memikirkan pengambilalihan saham BCA, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada penyusunan program yang lebih tepat guna. Salah satu program yang menurut Riandy harus menjadi perhatian dan bisa dikurangi adalah makan bergizi gratis (MBG).

Dia mempertanyakan apakah MBG seperlu itu untuk dianggarkan hingga Rp 335 triliun tahun depan. Dia juga menyoroti alokasi anggaran pemerintah di sektor lainnya yang menurutnya perlu dirasionalisasi.*