Penutupan ICCCRL 2025: Wamen Atip Ajak Perkuat Kolaborasi Lintas Agama dan Budaya

Wamendikdasmen Atip Latifulhayat, pada penutupan International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCCRL) yang berlangsung di Jakarta, Rabu (12/11)/fto: bkhm

GlobalReview-Jakarta – Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latifulhayat, menghadiri dan menyampaikan sambutan penutupan pada International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCCRL) yang berlangsung di Jakarta, Rabu (12/11).

“Atas nama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas partisipasi aktif dan pandangan berharga dari seluruh peserta konferensi ini. Dalam dua hari pelaksanaan konferensi bukan sekadar ajang pertukaran gagasan, melainkan wujud nyata bahwa pendidikan adalah kunci menghadapi tantangan masyarakat global,” ujar Wamen Atip di Jakarta pada Rabu (12/11).

Baca juga: KPPTI 2025: Puncak Kolaborasi Insan Pendidikan Tinggi Transformatif menuju Indonesia Emas 2045

Ia menuturkan bahwa konferensi internasional yang dihadiri 220 peserta, termasuk 70 perwakilan dari luar negeri, menunjukkan tekad bersama untuk menemukan solusi lintas budaya dan agama. “Kemendikdasmen dan Institut Leimena telah menunjukkan ‘Partisipasi Semesta. Pertemuan ini meyakinkan kami agar mencapai dunia yang damai, saling menghormati, dan bermartabat,” tuturnya.

Wamen Atip juga mengutip berbagai pemikiran para filsuf dunia seperti Heidegger, Habermas, Levinas, dan Rumi untuk menggambarkan tantangan kemanusiaan di era digital. Menurutnya, literasi keagamaan lintas budaya atau Cross-Cultural Religious Literacy (CCRL) bukan sekadar pengetahuan tentang ajaran agama lain, melainkan kemampuan untuk berempati, berdialog secara kritis dan konstruktif, serta mendengarkan dengan hati.

“Sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rumi, ‘Beyond right and wrong, there is a field. I’ll meet you there.’  Itulah esensi Cross-Cultural Religious Literacy (CCRL) menciptakan ruang pertemuan tanpa prasangka,” katanya.

Baca juga: Glenny Kairupan Pastikan Suntikan Modal Danantara Tepat Sasaran dan  Perkuat Transformasi Garuda Indonesia

Pendidikan sebagai Ruang Hidup yang Menumbuhkan Kebhinekaan

Wamen Atip juga menyampaikan bahwa pendidikan harus menjadi ruang hidup yang mencerminkan denyut keberagaman. Ia menyoroti peran guru sebagai agen perdamaian dan perekat sosial melalui program pelatihan CCRL yang sejak 2021 telah melibatkan ribuan guru dari berbagai agama di Indonesia. “Mereka adalah para pahlawan yang membangun jembatan kepercayaan, tidak hanya memahami perbedaan, tetapi juga mempraktikkan empati,” katanya.

Ia juga mengatakan bahwa Astacita Presiden Prabowo serta 8 dimensi profil lulusan yang sedang dikembangkan Kemendikdasmen untuk mencetak peserta didik yang beriman, berkarakter, kritis, kreatif, kolaboratif, mandiri, sehat, dan komunikatif. Untuk memperkuat dimensi karakter dalam realitas pluralisme, CCRL harus menjadi fondasi utama pendidikan karakter nasional. Selain itu, gerakan “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (G7KAIH)” dan penguatan peran Guru Wali disebut sebagai langkah nyata membangun kebiasaan baik, empati, dan kepekaan sosial sejak dini.

Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Kapuspeka), Rusprita Putri Utami, yang turut menjadi pembicara dalam Breakout Session dengan tema “Character Building to Strengthen Social Trust in a Diverse Society” juga menyampaikan bahwa pentingnya pembentukan karakter melalui proses pembiasaan, khususnya bagi generasi muda yang tumbuh di era digital dan keberagaman global.

“Anak-anak kita, Generasi Z dan Alpha, tumbuh di tengah paparan luar biasa terhadap keragaman melalui media sosial dan dunia digital. Karena itu, menanamkan karakter toleran dan menghargai perbedaan sejak dini menjadi sangat penting,” ujar Rusprita.

Baca juga: Mendikdasmen Ajak Kolaborasi Membangun Kerukunan Lintas Agama dan Budaya Berbasis Pendidikan

Ia menambahkan jika proses pembiasaan positif merupakan kunci pembentukan karakter yang berkelanjutan. “Kebiasaan akan membentuk karakter, dan jika dilakukan secara kolektif akan membentuk peradaban. Ini bukan hanya tugas sekolah, tetapi ekosistem pendidikan secara menyeluruh bagi pemerintah, keluarga, masyarakat, dan juga media,” tegasnya.

Rusprita juga mengungkapkan bahwa penguatan karakter telah dimulai sejak hari pertama anak masuk sekolah melalui program Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Ramah, serta didukung oleh Modul Kebinekaan Global yang telah diakses lebih dari 285 ribu guru di seluruh Indonesia. Modul tersebut membantu guru menanamkan nilai toleransi melalui kegiatan kreatif, permainan edukatif, serta media pembelajaran berbasis digital.

“Aktivitasnya tidak hanya memperkenalkan lingkungan sekolah tapi juga untuk mengenal dirinya, mengenal teman barunya dan mengenal gurunya,” ucap Rusprita.

Komitmen Regional dan Global

Dalam konteks regional, Wamen Atip mengajak seluruh negara anggota ASEAN untuk memperkuat kerja sama dalam membangun masyarakat yang tangguh, inovatif, dinamis, dan berpusat pada manusia, sebagaimana visi ASEAN Community Vision 2045. Tak hanya itu, ia mengajak agar menjadikan konferensi tersebut sebagai titik balik global dalam memperkuat kolaborasi lintas agama dan budaya. “Dari Indonesia, dari ASEAN, kita buktikan bahwa keberagaman bukan dilema, melainkan sumber kekuatan kita. Mari kita tegakkan martabat kemanusiaan sebagai fondasi kepercayaan sosial yang menjadi perekat bagi bangsa-bangsa,” tutup Wamen Atip.

Konferensi International on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCRL) 2025 menjadi penegasan peran Indonesia dalam memajukan literasi keagamaan lintas budaya sebagai pilar penting untuk membangun dunia yang damai, berkeadaban, dan saling percaya.*