Opini  

Suara Rakyat Bukan Sekedar Teriakan Semata, Bangsa ini Harus Dibangun Dengan Refleksi, Bukan Represi

Ketua Umum PGI, Jacklevyn Manuputty/Foto: Istimewa

GlobalReview-Jakarta-Beberapa hari terakhir kita mendengar, membaca bahkan melihat bahwa kita sedang berdiri di tengah riuhnya suara rakyat, jeritan hati yang telah lama dipendam. Ini bukan sekadar teriakan, tapi merupakan suara hati yang telah erupsi karena perilaku dan kebijakan pemerintah dan badan legislatif yang tidak merakyat dan tidak mewakili rakyat.

Baca juga: Ciptakan Generasi Emas 2045, IIDI Gelar Edukasi dan Pelayanan Kesehatan bagi Siswi SMKN 16 Jakarta

Tulisan di bawah ini mengungkapkan berapa suara hati rakyat itu menjadi sangat terluka ketika kebijakan dan kata-kata yang terlontar dari petinggi negeri.

Selamat membaca semoga bermanfaat…

Bangsa ini harus dibangun dengan refleksi, bukan represi

Oleh : Jacklevyn Manuputty*

BEBERAPA hari belakangan ini, kita berdiri di tengah riuhnya suara rakyat, bukan sekadar teriakan, tapi jeritan hati yang telah lama dipendam. Demonstrasi berbagai kelompok masyarakat merebak di Jakarta dan berbagai kota lainnya untuk menyikapi perilaku dan kebijakan pemerintah dan badan legislatif yang dirasa tidak berpihak pada masyarakat.

Baca juga: Kolaborasi BRI dan Indodax : Gerbang Menuju Literasi Finansial yang Lebih Maju

Ironisnya, dalam penanganan demonstrasi oleh pihak kepolisian, telah jatuh korban. Seorang pengemudi ojek tewas dengan mengenaskan akibat dilindas kendaraan taktis kepolisian. Di pihak lainnya, beberapa anggota polisi diberitakan berada dalam kondisi kritis akibat dikeroyok demonstran.

Menyikapi situasi ini, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan rasa keprihatinan serta dukacita yang mendalam terhadap keluarga pengemudi ojek yang meninggal, dan juga kepada para anggota kepolisian yang menjadi korban dalam tugas pengamanan demonstrasi. PGI meminta untuk tidak melihat demontsrasi sebagai ancaman, karena  ia adalah cermin dari kegelisahan yang tak lagi bisa ditahan, dari harapan yang terus-menerus diabaikan.

Baca juga : Presiden Prabowo Subianto Buka Apkasi Otonomi Expo 2025 : Pentingnya kerja nyata seluruh elemen bangsa dalam membangun negeri

PGI mengritisi penanganan demonstrasi melalui kekerasan yang berlebihan oleh aparat keamanan. Alangkah pilu ketika suara-suara para demonstran itu dibalas dengan kekerasan. Ketika tangan yang seharusnya melindungi justru menindas. Ketika gas air mata serta meriam air menggantikan dialog, dan pentungan menggantikan empati. Kita tidak sedang menjaga ketertiban; kita sedang mengkhianati keadilan.

Baca juga: AII Kembali Selenggarakan Sosialisasi Teknologi Hasil Riset HRS BPDP Dalam Program Promosi Sawit Baik

Kepada para politisi, PGI meminta untuk tidak menafsirkan kemarahan rakyat sebagai alat politik. Jangan pura-pura lupa, kemarahan rakyat bukan datang dari ruang kosong. Ia lahir dari janji-janji yang dikhianati, dari kebijakan yang menyakiti, dari kepemimpinan yang abai. Jangan mempolitisir luka yang kalian torehkan.

PGI juga menyerukan kepada masyarakat agar tidak membiarkan amarah mengaburkan akal sehat. “Kita butuh ketenangan, bukan karena kita lemah, tapi karena kita ingin tuntutan-tuntutan kita dicapai dengan bermartabat. Mari jaga ruang perjuangan ini tetap bermoral, tetap beradab.

Baca juga: Pinjol Jadi Salah Satu Penyebab Masyarakat Gagal Dapat Akses KPR

Menyikapi aparat penegak hukum, PGI mendorong untuk menangani peristiwa tragis yang berakibat meninggalnya pengemudi ojek secara jujur, transparan, dan mengesampingkan aspek impunitas. Menurutnya, bukan saja aparat penegak hukum, tetapi bangsa ini butuh keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

PGI mengajak untuk membangun bangsa ini bukan dengan represi, tetapi refleksi. Bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keberanian untuk berubah. Suara rakyat bukan untuk dibungkam, tetapi untuk didengar, dipahami, dan dijadikan arah.

*Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia