Opini  

Antara Tidur, Sholat, dan Kejujuran Akal: Kisah Dokter, Muadzin, dan Kalimat Tambahan

Prof. Dr. Chehab Rukni Hilmy, FICS, maestro bedah ortopedi Indonesia/Fb@hasyimarsalalhabsi

GlobalReview-Jakarta-Tulisan dibawah ini menarik disimak, paling tidak dipahami bahwa antara tidur, sholat dan kejujuran akal adalah sesuatu yang saling keterkaitan seperti halnya dua sisi dari kesadaran spiritual, mengajarkan pasrah dan mengajarkan kita untuk bangkit beranamah. Nukilan penulis dari Prof. Dr. Chehab Rukni Hilmy, FICS, maestro bedah ortopedi Indonesia di ulas dengan kesadaran yang menggelora hati di alam duniawi.

Selamat membaca…

Antara Tidur, Sholat, dan Kejujuran Akal: Kisah Dokter, Muadzin, dan Kalimat Tambahan

Oleh : Hasyim Arsal Alhabsi*

Ada manusia-manusia yang tak sekadar cerdas, tetapi jernih. Mereka memadukan sains dengan kebijaksanaan, dan membawa rasa ingin tahu sampai ke batas-batas langit. Salah satunya adalah Prof. Dr. Chehab Rukni Hilmy, FICS, maestro bedah ortopedi Indonesia. Seorang ilmuwan luhur yang dikenal bukan hanya karena pisau bedahnya yang halus, tapi karena jiwanya yang lembut, bersih, dan bersahabat dengan siapa pun yang mencintai ilmu.

Saya mengenalnya bukan sekadar dari layar akademik atau seminar-seminar medis, tetapi dari kedekatan personal yang dalam. Pernah dan sering saya bermalam di rumahnya, duduk bersama anak-anaknya, dan menyelami lautan pikirannya yang selalu bergelombang dengan tanya-tanya filosofis dan spiritual. Ia seorang pencinta ilmu, tetapi tidak dogmatis. Jika sesuatu mengusik logikanya, ia tidak diam.

Satu hari, di antara perbincangan hangat, ia berkisah tentang pertanyaan seorang sejawatnya yang membuatnya merenung dalam:
“Kenapa dalam azan Subuh ada kalimat ‘Ash-sholatu khoirun minan naum’ (Shalat lebih baik daripada tidur)? Apakah Anda sebagai dokter tak pernah mempertanyakan itu?”

Chehab yang jenius itu, jujur, mengaku sempat gagap. Karena sebagai dokter, ia tahu bahwa tidur adalah bagian dari penyembuhan terbaik. Setiap obat keras pasti mengandung zat penenang. Dan penenang terbaik adalah tidur. Dalam tidur, tubuh meregenerasi, otak membersihkan racun, jiwa menemukan jeda. Tidur adalah terapi Ilahi yang tak tergantikan. Lantas, bagaimana bisa seseorang membandingkan tidur dengan sholat? Bukankah keduanya adalah sunnatullah yang berbeda alamnya?

Ia mengakui bahwa jawabannya kepada temannya selalu kurang memuaskan. Hingga suatu hari, ia berkonsultasi kepada kakak saya, Ustadz Agus Abubakar. Dengan tenang dan sederhana, Ustadz Agus menjawab bahwa kalimat “ash-sholatu khoirun minan naum” adalah tambahan ijtihad dari Khalifah Umar bin Khattab, bukan bagian dari azan yang diajarkan Nabi secara baku. Kalimat itu ditambahkan sebagai seruan moral—bukan sebagai teks tauqifi yang harus mutlak dipertahankan. Sebuah dorongan spiritual agar umat tak larut dalam lelap dan bangkit menyambut fajar bersama Allah.

Prof. Chehab terdiam. Matanya menerawang. Tangannya mengelus dada dan berucap:

“Akhirnya saya tenang. Kalimat itu bukan pembanding mutlak. Bukan penegasan bahwa tidur buruk dan shalat selalu lebih baik. Tapi seruan puitis agar kita tak dikalahkan kenyamanan duniawi.”

Waktu berlalu. Tapi kisah ini menemukan gemanya dalam peristiwa tak terduga di Turki, ketika seorang muadzin mengganti kalimat “minan naum” (dari tidur) menjadi “minal mutaba‘ah” (dari menonton bola) saat Piala Dunia tengah berlangsung. Masjid langsung ramai bukan karena shalat Subuh, tapi karena protes!
Sang muadzin menjawab tenang:
“Kalian tidak sedang tidur, kan? Tapi menonton bola. Makanya saya bilang: Sholat lebih baik dari menonton bola.”

Peristiwa ini bukan sekadar anekdot, tapi cermin. Betapa sering kita mempertahankan bentuk tetapi melupakan substansi. Kita bangga dengan kata-kata suci, tapi takut bila maknanya disentuh akal sehat. Seolah iman adalah pengulangan, bukan pemahaman.

Dalam filsafat Islam, baik tidur maupun sholat memiliki posisi penting. Tidur adalah “kematian kecil” (al-mawt al-asghar) yang dititipkan Allah kepada ruh manusia setiap malam. Dalam tidur, manusia menyerahkan kendali—sebuah simbol keikhlasan. Sedangkan sholat adalah “mi’raj” jiwa, pendakian ruh ke hadirat Ilahi. Keduanya bukan saingan, tapi dua sisi dari kesadaran spiritual: yang satu mengajarkan pasrah, yang satu mengajarkan bangkit.

Maka bukan perkara mana yang lebih baik secara mutlak. Tapi kapan masing-masing ditempatkan. Tidur pada saatnya adalah ibadah. Tapi meninggalkan sholat demi tidur adalah pengkhianatan pada perjanjian abadi. Dan menolak tidur karena mengagungkan ibadah tanpa memperhatikan hak tubuh, juga sebuah kelalaian.

Pesan dari Prof. Chehab dan kisah sang muadzin menyadarkan kita akan satu hal besar:
Bahwa agama bukan sekadar hafalan lafaz, tapi ruang dialog antara wahyu dan akal, antara sunnah dan kenyataan, antara semangat dan bentuk.

Kalimat “ash-sholatu khoirun minan naum” bukanlah dogma yang melarang tidur, melainkan ajakan yang menyadarkan: jika engkau mampu bangkit untuk Tuhan, jangan kalah oleh kenikmatan sesaat. Tapi bila engkau sedang sakit, lemah, dan tubuhmu memerlukan istirahat, maka rahmat Allah jauh lebih luas daripada teriakan muadzin.

Karena sesungguhnya, dalam Islam:

Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Semoga tulisan ini menjadi pelita di antara kabut dogma, menjadi jembatan antara ilmu dan iman, dan menjadi dedikasi cinta kepada Prof. Dr. Chehab Rukni Hilmy—seorang ilmuwan yang tak takut bertanya dan tak malu untuk tenang setelah mendapat jawaban.

Kalimat “Ash-sholatu khoirun minan naum” bukanlah bagian dari syariah yang diwajibkan atau ditetapkan secara mutlak oleh Rasulullah SAW. Ia adalah tambahan ijtihad, bukan wahyu. Kalimat yang boleh dipakai, boleh pula ditinggalkan. Terserah. Tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya, dan tidak ada keharusan bagi yang mengucapkannya.

Yang wajib adalah sholatnya.
Yang utama adalah kesadarannya.
Yang paling tinggi adalah kejujuran kepada Allah dan akal yang telah Ia amanahkan.

*Kreator digital