Hukum  

Berbahaya Jika Keuangan MA Atau Kehakiman Bergantung Pada Eksekutif

Prof Santiago Sekjen dan Prof Laksanto Ketua LEHI dan Dekan Ubhara Sebagai Pihak Terkait Pengajuan JR yang diajukan Victor Santoso SH MH yg mengajukan JR di Mahkamah Konstirusi (Foto : IST)

GlobalReview-Jakarta – Perkumpulan Peneliti Eksaminasi Hukum Melalui Tim Kuasa Hukumnya Alichia Faradillah, S.H dan Syifa Khaffah Ananda, secara resmi mengajukan permohonan untuk menjadi Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 189/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga :Peneliti Eksaminasi Hukum Ajukan Diri sebagai Pihak Terkait di MK Desak Kemandirian Anggaran Lembaga Yudikatif Demi Kualitas Putusan

Perkara ini menguji konstitusionalitas Pasal 81A ayat (1) UU MA, Pasal 9 UU MK, dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara yang dinilai bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, karena mengakibatkan Kekuasaan Kehakiman menjadi tidak memiliki kemandirian Anggaran sehingga Kekuasaan Kehakiman menjadi tidak merdeka seutuhnya.

Alasan utama gugatan adalah untuk menjamin Kemandirian Kekuasaan Kehakiman atau yang dikenal sebagai Independensi Peradilan, (Judicial Independence). Prinsip ini adalah pilar utama dalam negara hukum (rule of law) yang demokratis.

Baca Juga :Tim Eksaminasi LEHI Temukan Lokasi Perkara Error in Objecto, Putusan Perkara Dinilai Melenceng

Dalam penjabaran alasan-alasannya mencegah Campur Tangan Kekuasaan (Checks and Balances)

Prinsip Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica), Dalam sistem demokrasi, kekuasaan negara dipisahkan menjadi eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan yudikatif (peradilan). Pemisahan ini untuk mencegah pemusatan kekuasaan yang absolut.

Baca Juga :Buku Mengurai Benang Kusut Keadilan Perkara Barnabas Suebu Terungkap Hasil Eksaminasi Barnabas Tak Bersalah tapi Dihukum

Bahaya Ketergantungan, jika keuangan MA bergantung pada eksekutif, pemerintah dapat menggunakan “uang” sebagai alat untuk mempengaruhi atau menekan keputusan hakim. Misalnya, dengan mengancam akan memotong anggaran jika putusan pengadilan tidak menguntungkan pemerintah.

Selain itu menjaga Objektivitas, dimana Peradilan harus bisa memeriksa kebijakan dan tindakan pemerintah secara objektif. Jika hakim merasa keberlangsungan institusinya bergantung pada “baik hati” eksekutif, akan timbul konflik kepentingan yang serius.

Menjamin Peradilan yang Tidak Memihak (Impartiality), Seorang hakim harus memutus perkara hanya berdasarkan hukum dan keadilan, bukan berdasarkan tekanan dari pihak manapun, termasuk pemerintah.

Jika keuangan MA disetir oleh eksekutif, hakim yang sedang mengadili perkara melawan pemerintah (misalnya, sengketa tanah, pajak, atau kebijakan) akan berada di bawah bayang-bayang tekanan tidak langsung. Ini merusak prinsip fair trial (peradilan yang adil).

Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi

Dengan anggaran yang terpisah dan dikelola secara mandiri, MA dapat lebih mudah dipertanggungjawabkan (accountable) langsung kepada publik dan DPR.

Sistem yang terpisah memungkinkan pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan khusus dirancang untuk kebutuhan peradilan, seperti Pendidikan dan pelatihan hakim.

Pengadaan sistem teknologi informasi peradilan, peningkatan akses masyarakat ke peradilan. Jika digabung dengan eksekutif, kebutuhan khusus peradilan seringkali tidak menjadi prioritas.

Mencegah Korupsi dan Mafia Peradilan

Ketergantungan keuangan menciptakan celah untuk praktik korupsi dan intervensi. Pejabat eksekutif bisa “menawarkan” anggaran tambahan sebagai “iming-iming” untuk mempengaruhi suatu putusan.

Dengan kemandirian keuangan, diharapkan rantai intervensi ini dapat diputus, sehingga mempersulit terjadinya “mafia peradilan”.

Prinsip kemandirian keuangan lembaga peradilan ini diakui dan diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24A Ayat (5): “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Ayat ini menjadi dasar bagi UU yang mengatur lebih lanjut, termasuk aspek keuangan.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10, Ayat (1): “Pengelolaan keuangan badan-badan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.”

Ayat (2): “Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa: Juga menegaskan pentingnya kemandirian kekuasaan kehakiman.

Tantangan dalam Penerapannya, meski secara hukum sudah diatur, dalam praktiknya di Indonesia, kemandirian keuangan MA tidak sepenuhnya absolut. Proses pengajuan dan persetujuan anggaran masih melibatkan eksekutif (melalui Kementerian Keuangan) dan legislatif (DPR). Hal ini masih menjadi area kritik dan perbaikan, karena intervensi halus masih mungkin terjadi melalui proses anggaran ini.

Pemisahan keuangan Mahkamah Agung dari eksekutif bukanlah soal administratif belaka, melainkan sebuah prinsip konstitusional untuk melindungi hak konstitusional warga negara. Tujuannya adalah memastikan bahwa setiap orang yang berhadapan dengan hukum dapat berdiri di depan hakim yang benar-benar merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, sehingga keadilan dapat ditegakkan.*