Hukum  

Aliansi Akademisi Apresiasi Prabowo Berikan Abolisi Thomas Lembong

Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong /Foto: IST

GlobalReview-Jakarta – Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Prof Sulistyowati Irianto, menyampaikan apresiasi kepada Guru Besar, akademisi, intelektual publik, namanya dicantumkan namanya dalam amicus curie bagi Bapak Thomas Trikasih Lembong.

Baca Juga :Asosiasi Dosen Ilmu Hukum dan Kriminologi Kupas Vonis Thomas Lembong

“Kita mendapat kabar baik bahwa hari ini Pak Tom mendapatkan abolisi dan bisa berkumpul kembali bersama keluarganya. Namun naskah amicus curiae yang sudah memuat perkembangan terakhir ini (pemberian abolisi), tetap harus dinyatakan,” ujarnya, Jumat (1/8/2025).

Baca Juga :Athika Batangtaris : Galakan Pendidikan Karakter dan Literasi Digital untuk Perempuan Hadapi Tantangan Global

“Tujuannya agar diketahui bahwa pak Tom memang berhak dibebaskan atas perkara hukum yang dasar penuntutan dan pemidanaannya lebih pada motivasi politik. Secara hukum memang harus bebas, bukan saja secara politik, “ tambahnya.

Baca Juga; Preman Berbalut Jukir Liar Merajalela, Paksa Pengendara Bayar Parkir Tidak Sesuai Ketentuan, Hukuman Harus Tegas

Ia mengucapkan terimakasih, atas kepedulian komunitas intelektual baik di kampus maupun publik, untuk terus hidup dalam menyuarakan kebenaran, keadilan demi tetap tegaknya negara hukum Indonesia.

ALIANSI AKADEMIK PEDULI KEADILAN

Perihal: Pengajuan Pandangan Hukum sebagai Amicus Curiae dalam Perkara Thomas Trikasih Lembong

AMICUS CURIAE

Kepada Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta cq Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Banding Thomas Trikasih Lembong.

Majelis hakim yang kami hormati,

Dengan kerendahan hati, ijinkan kami mengajukan pandangan hukum sebagai Amicus Curiae (sahabat pengadilan) dalam perkara a quo. Perkenankan kami Aliansi Akademik yang independen

Turut memberikan pandangan akademik kami dalam perspektif socio-legal atau hukum interdisiplin; yaitu membahas hukum dalam konteks beragam keilmuan, dan bertujuan mendukung prinsip negara hukum dan keadilan warga negara dalam proses peradilan pidana.

Pemidanaan terhadap Tom Lembong di Indonesia penuh dengan kejanggalan dan menimbulkan reaksi negatif dari berbagai kalangan secara masif, baik dari para ahli dan praktisi hukum maupun masyarakat luas. Dari perspektif socio-legal itu vonis terhadap Tom Lembong mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum di negeri ini, dengan segala dampaknya yang luas. Hukum yang dihasilkan dari putusan pengadilan itu dianggap tidak lagi bertujuan menjaga masyarakat dari kejahatan dan keserakahan dan tidak lagi mendistribusi keadilan.

Sebaliknya hukum telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga masyarakat luas, menimbulkan demotivasi bagi generasi muda pintar dan berintegritas untuk mengabdikan dirinya masuk ke pemerintahan, dan mencemaskan bagi rakyat kecil yang buta hukum. Dalam kasus Tom Lembong, pemidanaan dijatuhkan terhadap pejabat negara yang menjalankan fungsi administratifnya sebagai Mentri, yang padahal sepengetahuan Presiden dan tanpa mens rea (niat jahat); dengan mengabaikan fakta hukum di persidangan dan tanpa bukti adanya unsur memperkaya diri sendiri.

Ketiadaan kepastian hukum juga akan mempengaruhi dunia usaha di dalam negeri, termasuk investor asing yang akan ragu untuk berinvestasi di Indonesia; padahal negeri kita sedang sangat

Membutuhkan perputaran roda ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan menjembatani jurang gini ratio yang lebar antara kelompok kaya dan miskin.

Dari perspektif negara hukum pemidanaan terhadap Tom Lembong telah menimbulkan kekhawatiran besar tentang melemahnya independensi peradilan dan demokrasi di negara ini. Dari lemahnya bukti, prosedur acara pemeriksaan yang dipaksakan, pengabaian pendapat akademik dari para saksi ahli, sejak fase penyidikan, penyelidikan, pemidanaan, sampai pada penggunaan konsep kapitalis secara tidak tepat. Juga penghukuman ini dijatuhkan tanpa adanya mens rea dan

Kerugian negara. Nampak bahwa kasus ini telah menjelma sebagai politically motivated

Prosecution, yaitu pemidanaan dan penuntutan yang lebih didasarkan pada motif politik, bukan hukum. Penghukuman terhadap Thomas Trikasih Lembong yang begitu berat atas tuduhan yang penuh

Kejanggalan dan meragukan menimbulkan pertanyaan besar terkait independensi pengadilan.

Padahal independensi pengadilan adalah salah satu unsur penting dari negara hukum, yang memastikan adanya balancing kekuasaan terhadap penyelenggaraan negara. Pengadilan

Seharusnya justru menjadi mekanisme kontrol terhadap persengketaan tentang hukum dan penerapannya (Bedner, 2010). Jika pengadilan gagal dalam menjaga independensi pengadilan dan demokrasi di Indonesia akan berdampak sangat buruk terhadap kelangsungan negara hukum, melukai rasa keadilan publik, dan merusak kepercayaan publik Kedudukan putusan hakim sebagai sumber hukum dalam sistem hukum yang manapun adalah keniscayaan, termasuk sistem hukum di Negeri Belanda yang memiliki akar hukum yang sama dengan hukum Indonesia, karena putusan hakim adalah secondary legislature (Aharon Barak,

2005). Begitu tingginya kedudukan putusan hakim sebagai produk hukum yang menjadi harapan terakhir bagi para pencari keadilan.

Hakim sebagai penjaga gerbang Kerajaan Keadilan di dunia ini, berkewajiban membaca hukum tidak hanya sebatas teks, tetapi juga konteks. Hakim seharusnya mempertimbangkan motif politik di balik penuntutan Jaksa, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan berdasarkan hukum, bukan politik. Dalam upayanya menjaga kemandirian hakim, seharusnya hakim berani membebaskan

Diri dari tekanan politik, sebagaimana sumpahnya sebagai hakim.

Penuntutan dan pemidanaan bermotifkan politik berulang kali terjadi di negara-negara otoriter dan menjadi fenomena yang mengancam prinsip keadilan hukum di negara yang demokratis seperti Indonesia. Kasus seperti ini adalah fenomena yang umum terjadi di negara-negara yang

Memiliki sistem demokrasi yang lemah atau di negara-negara yang dipimpin penguasa otoriter yang populis.

Dalam kasus ini, penuntutan dan pemidanaan digunakan sebagai alat untuk menyerang lawan politik dan mempertahankan kekuasaan. Seperti dikatakan oleh Steven Levitsky, seorang ahli politik dari Harvard University, “Penguasa populis otoriter sering menggunakan hukum sebagai

Senjata untuk menyerang lawan politik dan mempertahankan kekuasaan” (Levitsky, 2018).

Ketika hakim tidak membebaskan Tom Lembong, maka itu akan menjadi sinyal buruk bagi independensi peradilan dan demokrasi di Indonesia. Penuntutan yang didasarkan pada motif politik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan menghancurkan independensi peradilan. “Ketika penguasa menggunakan hukum sebagai senjata untuk menyerang

Lawan politik, maka itu dapat merusak demokrasi dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan” (Levitsky, 2018).

Bersama ini kami menyatakan:

1. Menghargai pemberian abolisi kepada sdr Thomas Trikasih Lembong, yang sebenarnya memang berhak atas pembebasan, karena pemidanaan terhadapnya tidak lebih dari

Politically motivated prosecution

2. Sebelum adanya pemberian abolisi ini, kami mendukung sepenuhnya pencarian keadilan

Bagi Tom Lembong melalui upaya banding, dan pembebasan terhadapnya di tingkat

Banding demi terwujudnya prinsip independensi pengadilan dan demokrasi dalam negara

Hukum.

3. Konsekuensi hukum lanjutan dari putusan pidana terhadap Tom Lembong adalah bahwa

Para Mentri sebelum dan sesudah Tom Lembong juga harus diperiksa dan dihukum karena

Melakukan kebijakan yang persis sama, bahkan ada yang jumlah importasi gulanya jauh lebih banyak.

Dengan penghargaan yang tinggi kepada institusi pengadilan dan rasa hormat, kami memohon

Agar Majelis Hakim mempertimbangkan secara seksama pemikiran kami di atas. Banyak

Terimakasih atas perkenannya.

Jakarta, 31 Juli 2025

Hormat Kami,

Amicus curiae dalam perkara Thomas Trikasih Lembong

1. Prof Sulistyowati Irianto (UI)

(Koordinator)

2. Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Ketua Dewan Guru Besar UI)

3. Prof. Muhammad Baiquni (Ketua Dewan Guru Besar UGM)

4. Prof. Mohammad Mahfud MD (UII)

5. Marzuki Darusman, SH (Jaksa Agung 1999 – 2001/intelektual publik)

6. Prof. Franz Magnis Soeseno (STF Driyarkara)

7. Prof. Todung Mulya Lubis (UI/aktivis HAM)

8. Dr. Suparman Marzuki (UII/ Ketua Komisi Yudisial 2013-2015)

9. Butet Kertaredjasa (seniman/ intelektual publik)

10. Prof. Topo Santoso (UI)

11. Prof. Yetty Komalasari Dewi (UI)

12. Prof. Andri Gunawan Wibisana (UI)

13. Prof. Rosa Agustina (UI)

14. Prof. Heru Susetyo (UI)

15. Prof. Francisia Saveria Sika Seda (UI)

16. Prof. Rosali Saleh (UI)

17. Prof. Manneke Budiman (UI)

18. Prof. Indang Trihandini (UI)

19. Prof. Anton Rahardjo (UI)

20. Prof. Yaslis Ilyas (UI)

21.

Prof . Anhari Achadi (UI)

22. Prof. Endang Achadi

(UI

)

23. Prof Siti Setiati (UI)

24. Prof Akmal Taher (UI)

25. Prof. Multamia Lauder (UI)

26. Prof. Teddy Prasetyono (UI)

27. Prof. Budi Iman Santoso (UI)

28. Prof. Risqa Rina Darwita (UI)

29. Prof. Melani Budianta (UI)

30. Prof. Mayling Oey

-Gardiner (UI)

31. Prof. Riris K.Toha

-Sarumpaet (UI)

32. Prof. Daldiyono (UI)

33. Prof. Sulastri Surono (UI)

34. Prof. Martani Huseini (UI)

35. Dr. Mas Achmad Santosa (UI)

36. Dr. Suraya Afif (UI)

37. Dr. Lidwina Inge (UI)

38. Dr. Gratianus Prikasetya Putra (UI)

39. Dr. Hariyadi Wirawan (UI)

40. Dr. Lugina Setyawati (UI)

41. Dr. Theresia Dyah Wirastri (UI)

42. Dr. Iva Kasuma (UI)

43. Dr. Mia Siscawati (UI)

44. Dr. Iklilah Muzzayanah (UI)

45. Dr. Puspitasari (UI)

46. Ganjar Laksmana Bondan, S.H.,M.H (UI)

47. drg Usman Sumantri, MKM (UI)

48. Suzie Sudarman,M.A (UI)

49. Agnes Purbasari, M.A. (UI)

50. Tien Handayani, S.H., Msi (UI)

51. Tirtawening, S.H., MA (UI)

52. Yvonne Nafi, S.H, Msi (UI)

53. Prof. Masduki (UII)

54. Prof. Pujiyono (UNDIP)

55. Prof. Wahyudi Kumorotomo (UGM)

56. Prof Marcus Priyo Gunarto (UGM)

57. Prof. Nindyo Pramono (UGM)

58. Prof. Maria SW Soemardjono (UGM)

59. Prof. P.M. Laksono (UGM)

60. Dr. Zainal Arifin Mochtar (UGM)

61. Dr. Media Wahyudi Askar (UGM)

62. Dr. Ahmad Munjid (UGM)

63. Dr. Herlambang Perdana Wiratraman (UGM)

64. Dr. Sri Wiyanti Eddyono (UGM)

65. Dr. Rikardo Simarmata (UGM)

66. Usman Hamid, SH, Mphil (STH Jentera)

67. Prof. Herlien Dwiarti Soemari (ITB)

68. Dr. Sangriyadi Setio (ITB)

69. Prof. D.S. Priyarsono (IPB)

70. Dr. Meilanie Buitenzorgy (IPB)

71. Prof. Imam Koeswahyono (UNIBRAW)

72. Dr. Fachrizal Affandi (UNIBRAW)

73. Dr. Muktiono (UNIBRAW)

74. Dr. A. Setio Wibowo (STF Driyarkara)

75. Dr. Haryatmoko (STF Driyarkara)

76. Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi (STF Driyarkara)

77. Dr.Yanuar Nugroho (STF Driyarkara)

78. Prof. Ramlan Surbakti (UNAIR)

79. Dr. Pinky Saptandari (UNAIR)

80. Prof. Susi Dwi Harijanti (UNPAD)

81. Dr. Rina Hermawati (UNPAD)

82. Dr. Selly Riawanti (UNPAD)

83. Prof. Dhaniswara K Harjono (UKI)

84. Prof. Mompang L. Panggabean (UKI)

85. Prof. Aarce Tehupeiory (UKI)

86. Prof. Aminuddin Salle (UNHAS)

87. Prof. Ahmad Humam Hamid (Univ Siah Kuala)

88. Dr. Saiful Mahdi (Univ Siah Kuala)

89. Dr. Saifuddin Bantasyam (Univ Siah Kuala)

90. Prof. Dominikus Rato (Univ Jember)

91. Dr. Tristam Pascal Moeliono (UNPAR)

92. Prof Laksanto Utomo (Univ Bhayangkara)

93. Prof. Cita Citrawinda (UNKRIS)

94. Prof. Anita Lie (Univ Petra)

95. Prof. Asvi Warman Adam (BRIN)

96. Dr. Ignatius Haryanto (Univ Multi Media Nusantara)

97. Dr. Irwan Julianto (Univ Multi Media Nusantara)

98. Dr. Hilmar Farid (Sejarawan)

99. Dr. A. Prasetyantoko (Unika Atmajaya- Jakarta)

100. Dr. Greg Sri Hurhartanto (Unika Atmajaya-Yogyakarta)

101. Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo (Unika Atmajaya-Yogyakarta)

102. Dr. R. Maryatmo (Unika Atmajaya-Yogyakarta)

103. Dr. Alex A. Binawan (Institut Teknologi Keling Kumang Sekadau)

104. Dr.Titiek Kartika (Univ Bengkulu)

105. Dr. Djonet Santoso (Univ Bengkulu)

106. Vera W Setijawati Soemarwi, S.H.MA ( peneliti Leiden Law School)

107. Sandyawan Sumardi (peneliti Jaringan Relawan Kemanusiaan)*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *